Media sosial sudah menjadi bagian besar dalam kehidupan kita, tapi pernahkah kita merasa jenuh atau mempertanyakan manfaat sebenarnya? Artikel ini adalah cerita perjalanan saya hingga akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Instagram sepenuhnya, demi fokus pada hal-hal yang lebih penting.
Perjalanan Awal dengan Medsos
Saya mengenal media sosial sejak masih SD, dimulai dari Friendster. Waktu itu, ke warnet untuk menambah teman-teman adalah hal yang seru, meski akhirnya tidak berlangsung lama. Kemudian, sekitar tahun 2007 atau 2008, saat mau lulus SMP, saya mulai aktif di Facebook. Masa-masa SMK menjadi momen di mana Facebook benar-benar populer.
Instagram sendiri saya buat saat awal kuliah D3 pada tahun 2011. Lalu, saat melanjutkan S1 di tahun 2014, saya mencoba Path dan Twitter, tapi akhirnya kedua akun itu saya hapus. Pada akhirnya, hanya Facebook dan Instagram yang terus saya gunakan, meski Facebook ini awalnya sering saya hapus, unduh lagi, dan alhamdulillah setelah terakhir kali dihapus pada tahun 2022, tidak terasa sudah dua tahun terakhir saya benar-benar tidak main Facebook dan tidak tertarik untuk menginstalnya kembali.
Sering kali, saya merasa dilema dengan Instagram. Saya bolak-balik menghapus aplikasi, lalu mengunduh lagi. Rasanya seperti hubungan tarik-ulur. Saat butuh untuk bisnis, saya instal lagi, tapi setiap kali kembali, rasanya banyak sekali mudharat yang muncul, seperti berita perselingkuhan, pelecehan, dan pamer-pamer yang bertebaran. Rasanya menyesal lagi sudah mengunduhnya. Kadang, meski tidak melihat di Explore, kita bisa tahu lewat story teman yang membagikan berita tersebut. Banyak informasi yang malah membuat perasaan saya tidak nyaman setiap hari.
Detox Sosial Media
Saya pernah mencoba tantangan untuk tidak mengunggah cerita di WhatsApp. Meski berhasil, saya tetap merasa “gatal” untuk mengunggah cerita di Instagram. Satu momen yang benar-benar membuka pikiran saya terjadi saat perjalanan pulang di tol dengan hujan yang cukup deras, tiba-tiba terlintas dalam pikiran, ‘MasyaAllah, kekuasaan Allah luar biasa ya.’ Di sini hujan deras, beberapa kilometer ke depan hanya gerimis, dan lebih jauh lagi kering. Saat kering, saya melihat pemandangan gunung dan alam yang begitu indah. Alhamdulillah…
tapi kok jadi mikir, kenapa aku nggak foto atau video ya? Dulu rasanya kalau travelling pasti wajib foto atau video. Apa karena sekarang lagi ada challenge nggak update story WA, jadi video/foto itu buat apa, toh nggak bisa upload juga. Eh, berarti tujuan upload itu sebenarnya pengen dilihat, kan?
Padahal yang lihat juga kadang nggak terlalu peduli, hihi.
Melepaskan Beban Validasi
Dulu, saya rajin mengunggah video dan foto saat perjalanan darat keliling Pulau Sumatera hingga ujung Indonesia, Sabang, kemudian melanjutkan perjalanan keliling Pulau Jawa, Bali, Lombok, NTB, hingga Labuhan Bajo atau saat camping dan lainnya. Tapi, setelah dipikir-pikir, apakah itu benar-benar karena saya menikmati momen tersebut? Ataukah hanya untuk menunjukkan ke orang lain bahwa saya sudah ke sana?
Pernahkah kita bertanya, apakah kita benar-benar menyukai sesuatu, atau hanya ingin terlihat menyukai hal itu? Misalnya, jika kita berhenti mengunggah, apakah kita masih akan melakukan hal yang sama dengan semangat yang sama? Pertanyaan ini menjadi bahan refleksi besar bagi saya.
Coba deh kalau kamu tetap suka hal itu tanpa harus ngonten. Gimana?, Masih semangat dengan hal itu?
Atau sebenarnya kamu ngelakuin itu cuma buat validasi aja?
Jadi si paling travelling, si paling hobi camping, si paling aesthetic, si paling rajin baca buku, si paling kaya dan sebagainya.
Padahal, tanggapan orang kadang nggak penting kan?
Yaampun, enak banget ya dia, duitnya banyak, bisa jalan-jalan, pengusaha waktunya bebas, ih romantis banget sama suaminya, dan sebagainya.
Sadar Dampak Buruk Sosmed
Jika unggahan orang lain di sosial media bisa membuat sebagian kita merasa iri, tidak bersyukur, atau bahkan hasad? Apakah mungkin justru kita yang menjadi penyebab hal-hal buruk tersebut? Niat awalnya adalah berbagi informasi, tapi jika lebih banyak mudharat daripada manfaat, bukankah lebih baik ditinggalkan?
Kasus yang diangkat oleh RSPH sangat menarik. Mereka menjelaskan bahwa kegelisahan bisa muncul ketika Anda terus-menerus melihat teman atau orang lain berlibur, menikmati malam, atau merasakan kegembiraan hari-hari mereka. Hal ini dapat membuat Anda merasa seolah-olah kebahagiaan itu hilang dari hidup Anda.
Secara sederhana, Anda akan merasa gelisah saat melihat orang lain berlibur dan menikmati hal-hal yang mungkin tidak bisa Anda lakukan, baik itu sementara atau tidak.
Ini membuat Anda berpikir,
‘Enak ya dia, jalan-jalan terus.
‘ Eh, kemarin baru ke Dubai, sekarang sudah di Madinah lagi.
Foto di rumah, ih rumahnya rapi banget,
Banyak beudh duitnya yak dia haji tiap tahun, umrah tiap bulan
dan sebagainya.
Secara tidak sadar, Anda bisa mengalami gangguan pada kesehatan mental. Instagram lebih banyak membawa gangguan daripada kebaikan.
Selamat Tinggal Instagram
Dengan segala pertimbangan, memutuskan untuk meninggalkan Instagram sepenuhnya di Desember 2024. Keputusan ini terasa lebih ringan karena akun Instagram bisnis sekarang sudah sepenuhnya dikelola oleh tim, dan alhamdulillah juga ada tim marketing baru berpengalaman yang akan membantu bagian admin. Jadi, soal strategi pemasaran bisnis di media sosial, biar mereka yang menjalankannya. Alhamdulillah, hehe.
Saya hanya perlu memberikan masukan dan review, tanpa harus terlibat langsung. Rasanya sangat lega…
Tips untuk Kamu yang Ingin Mengurangi Media Sosial
- Refleksikan Niatmu: Tanyakan pada diri sendiri, apa tujuanmu menggunakan media sosial? Apakah untuk validasi, hiburan, atau benar-benar kebutuhan?
- Coba Detox Bertahap: Mulailah dengan tidak mengunggah cerita atau posting selama beberapa hari. Rasakan perbedaannya.
- Kurangi Kontak yang Tidak Perlu: Sederhanakan hidupmu dengan hanya menyimpan kontak orang-orang yang benar-benar penting.
- Alihkan Fokus: Temukan aktivitas lain yang lebih bermanfaat, seperti membaca, menulis, atau memperdalam ilmu agama.
- Berdoa dan Minta Kekuatan: Berdoa kepada Allah agar dimudahkan dalam meninggalkan hal-hal yang kurang bermanfaat dan diberi keberkahan dalam waktu yang dimiliki.
Bismillah, biidznillah siap untuk memulai awal baru yang lebih baik
Keputusan untuk meninggalkan Instagram bukanlah hal yang mudah, terutama setelah 13 tahun menjadi bagian dari hidup saya. Namun, saya yakin ini adalah langkah terbaik untuk fokus pada hal-hal yang lebih penting. Semoga langkah ini membawa lebih banyak keberkahan dan kedewasaan dalam menjalani hidup.
Bagi kamu yang juga merasa lelah dengan sosial media, cobalah untuk refleksi dan buat keputusan yang terbaik untuk dirimu. Barakallahu fiikum!
Masya Allah kak
ini aku bangettt
hapus dan instal kembali Ig berkali kali
merasa capek dgn berbagai informasi, khususnya perselingkuhan, pelecehan, kdrt dll
aku jdi tiba2 badmood, lemes, sedihh yang sedihh bgt liat info2 kyk gitu,overT. .lelah pokok nya dengan bnyaknya info2
sudah seminggu ini aku hapus ig, waktu suami tanya ig nya knp di hapus, aku bilang capekk aku sama ig hehe
Ya Rabb, aku ngerti banget perasaan kakak. Terlalu banyak info negatif bisa bikin capek banget, ya. Aku juga gitu, makanya stop main IG. Alhamdulillah jadi banyak hal yang bisa dilakukan kak dari sekedar scroll-scroll. Semoga dengan kita putus hubungan dengan ig bisa lebih tenang dan fokus ke hal-hal bermanfaat yang bikin hati terus adem ya kak. Semangat ya! Barakallahu fiiki
Maasyaa Allah Barakallahufiik