Desember 2024, Saya meninggalkan Instagram. Hari ini, 22 Juli 2025 memutuskan untuk Bismillah meninggalkan WhatsApp. Dua aplikasi yang selama ini begitu lekat dalam hidup sebagai seorang pengusaha dan penuntut ilmu.
Keputusan ini bukan tiba-tiba. Bahkan, baru saja mendengarkan nasihat dari seorang ustadz di event kemarin tentang bersikap adil saat bertikai. Tapi ternyata, ujian adil itu tidak selalu datang lewat pertengkaran besar kadang justru lewat hal-hal kecil, remeh, dan sepele… seperti sebuah video dan logo yang tidak terpampang.
Satu Cuplikan Video, Seribu Rasa di Hati
Melihat video kegiatan kemarin, logo usaha saya tidak ada. Padahal saya cukup lama terlibat dan dikenal.
Sementara logo usaha teman yang baru bergabung, justru terpampang jelas.
Mungkin lupa, mungkin sengaja. Saya tidak tahu. Tapi yang pasti, rasanya seperti tidak dihargai.
Mungkin bagi orang lain ini receh.
Belum lagi kejadian sebelum pulang camping kemarin. Padahal sebelumnya sudah mengatur posisi agar kami semua bisa masuk frame, supaya video jadi kenangan indah bersama. Tapi karena komunikasi yang minim dan sedikit miskomunikasi, temanku justru merasa kesal. Ia mengira saya enggan membantunya membawa botol, padahal maksudnya itu agar kami bisa memegangnya bersama-sama dan tampil rapi di video. Kelihatannya sepele, memang. Tapi efeknya terasa nyata.
Kita Sedang Berubah, Tapi Dunia Tak Selalu Mengerti
Dalam perjalanan pulang, aku mulai merenung:
“Ini cuma soal video, tapi kenapa suasananya bisa setegang ini?”
Teman saya sempat marah karena momen yang ingin ia rekam porter yang sedang mendorong gerobak terlewat begitu saja. Ia ingin merekamnya untuk bahan konten. Siang kemarin berdoa agar saya bisa mengurangi foto-foto, video, dan kehebohan semacam itu. Kecewa… kok bisa, seorang teman marah hanya karena gagal merekam gerobak porter yang sudah keburu jauh?
Saya jadi bertanya-tanya: Lebih penting mana momen yang benar-benar kita alami bersama, atau video yang sekadar jadi dokumentasi untuk dikenang atau dibagikan? Rasanya… ini sudah tidak sehat.
Saya memang tidak punya akun Instagram pribadi, akun IG bisnis, itupun dikelola oleh tim. Tapi masih sering mengunggah story di WhatsApp karena merasa itu lebih privat, hanya dilihat oleh orang-orang terdekat.
Namun ternyata… dari situ pun terkadang muncul sindiran.
Ada si paling ‘tidak update di WA’, tapi di Instagram publik justru menampilkan kemesraan dengan pasangannya. Sementara ketika saya minta bantuan untuk memvideokan, ekspresi wajahnya seperti enggan. hihi
💭 “Lebih besar mudharatnya yang mana? Upload story WA yang cepat hilang, atau IG publik yang dilihat banyak orang asing?”
Dan hari ini, saya memilih untuk benar-benar berhenti.
Tidak setengah-setengah lagi.
Kalau ingin berubah, ya berubah sekalian.
“Barang siapa meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan menggantikannya dengan yang lebih baik.” (HR. Ahmad no. 22565, dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani)
Allah Menjawab Doa Lewat Kekecewaan Kecil
Baru kemarin berdoa agar bisa mengurangi foto-foto dan video-video. Hari ini Allah kabulkan… bukan dengan cara yang indah, tapi dengan kekecewaan.
Jadi teringat sebuah analogi:
Kalau kita ingin membersihkan diri dari lumpur, mencucinya dengan air bersih tapi tetap berdiri di dalam lumpur, ya tetap saja tidak akan benar-benar bersih. Kita harus keluar dari lumpur lebih dulu, baru bisa disiram air sampai benar-benar bersih.
Begitu pula dengan sosial media. Mungkin memang sudah saatnya bukan hanya mengurangi, tapi keluar dan menjauh. Karena semakin berusaha “bermain aman”, tetap saja ada hal-hal yang menjerumuskan.
Tentang Komunitas, Ide yang Terlupakan, dan Validasi yang Melelahkan
Pengalaman kecewa ini bukan yang pertama.
Di komunitas camping yang dulu kami rancang, kami pernah mengusulkan nama, konsep “no musik, no rokok”, bahkan ikut dalam pertemuan awal. Tapi karena kami sedang berangkat umrah, saat event berikutnya semua berubah. Nama berubah, arah berubah.
Sempat kecewa. Tapi berdamai. Namun di event ketiga, logo bisnis kembali tidak disertakan.
Padahal logo bisnis teman yang baru gabung, langsung terpampang.
Belum lagi soal sponsor. Katanya mendadak, tapi nyatanya sempat-sempatnya cetak kaos juga.
Dari situ aku belajar: Jangan terlalu berharap validasi dari manusia bahkan dari teman sendiri.
Karena ternyata:
“Orang yang paling berat hisabnya di akhirat adalah orang yang mencari perhatian manusia dalam amalnya.” (HR. Ahmad)
Ya Rabb, bersihkan hati ini dari segala kotoran dan tidak lagi sibuk haus akan validasi. Cukuplah penilaian Allah yang menjadi yang paling penting, melebihi pandangan siapa pun. Semoga Allah selalu arahkan kita ke jalan kebaikan, dan jauhkan dari hal-hal yang tidak membawa manfaat. Aamiin.
Dan Saat Saya Menghapus WhatsApp…
Saya tidak menampik, WhatsApp selama ini memudahkan banyak hal: bisnis, koordinasi, bahkan kegiatan belajar. Saya ikut kelas tahsin, bahasa Arab, dan program murojaah “Arab Baina Yadaik”. Bahkan akhir bulan ini ada pertemuan penting.
Tapi hari ini, saat saya menghapus WhatsApp, saya sedang mencari cara:
📍 Apakah bisa pakai WA Bisnis saja untuk kelas?
📍 Apa pakai akun suami dulu untuk konfirmasi ke pengajar?
📍 Atau minta admin grup buat backup info di Telegram?
Wkwk. Saya belum tahu. Tapi satu hal yang saya tahu:
Saya ingin lebih baik dari sebelumnya.
Saya ingin menata ulang hidup dan hati saya. Dan saya percaya,
“Barang siapa yang hijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Bukhari no. 2529)
Catatan Kajian Subuh: 8 Hak Pertemanan yang Membuat Saya Merenung
📍 Rengganis, Kab. Bandung
Subuh Ahad kemarin, saat kami camping di Rengganis Kab. Bandung, Ustadz menyampaikan nasihat yang terasa menampar sekaligus menenangkan. Tentang 8 Hak Pertemanan dalam Islam:
- Jujur: Jujur dalam ucapan maupun perbuatan. Teman sejati adalah yang mencegah kita dari keburukan dan kemaksiatan.
- Menjaga Teman Dimulai dari Menjaga Diri Sendiri. Contohnya: ketika mengetahui sesuatu berbahaya, kita tunjukkan kepada teman. Saat teman mulai melenceng, kita menasihatinya.
- Membalas Kebaikan Teman
“Barangsiapa berbuat kebaikan kepada kalian, maka balaslah. Jika tidak bisa membalasnya, maka doakan ia dengan kebaikan yang banyak.” (HR. Abu Dawud no. 1672, dishahihkan Al-Albani) - Berlemah Lembut dan Bersabar Terhadap Kekurangan Teman
Saat berteman, kita tidak akan menemukan sosok yang sempurna. Maka, bersabarlah: Teman yang selalu berdzikir pagi dan petang.
Suami jangan mencela istri, dan istri jangan mencela suami, karena masing-masing memiliki kebaikan.
Contoh: istri cerewet tapi masakannya enak, atau suami tidak pandai tapi penyabar. - Mendoakan Kebaikan untuk Teman Ini adalah bagian dari keimanan.
“Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian sampai ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri.”
(HR. Bukhari & Muslim) - Adil Saat Bertikai
Bersikap adil saat ada perselisihan.
Wanita kadang lebih dominan perasaannya daripada akalnya.Kisah: Ketika ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha difitnah berzina, Nabi ﷺ bertanya kepada Zainab binti Jahsy:“Wahai Zainab, apa yang kamu ketahui tentang Aisyah?” Zainab menjawab: “Aku tidak mengetahui tentang Aisyah kecuali kebaikan.” (HR. Bukhari no. 2661)
Padahal mereka sering bersaing. Zainab bisa saja menjatuhkan Aisyah, tapi dia jujur dan adil. Persaingan mereka hanya pada perasaan, bukan pada hati.
- Menjaga Hubungan Setelah Teman Wafat
Di antara bentuk hak pertemanan:
Membantu melunasi utang teman yang sudah meninggal.
Mengirimkan makanan kepada keluarganya.
Membantu menyelesaikan kewajiban teman, seperti urusan warisan. - Tetap Berbuat Baik Meski Dijauhi Teman
Ketika ada teman yang menjaga jarak, kita tetap berbuat baik kepadanya. Jangan balas dengan keburukan.
Akhlak Penghuni Surga
Pada hari kiamat, Allah akan mencabut dari hati para penghuni surga segala sifat hasad, iri, dan dengki.
“Dan Kami cabut segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka…”
(QS. Al-A’raf: 43)“Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada di dalam hati mereka; mereka merasa bersaudara…”
(QS. Al-Hijr: 47)
Mungkin di dunia ini kita pernah mengalami konflik, salah paham, atau kekecewaan. Tapi semoga semua itu tidak menyisakan kebencian. Cukup dijadikan pelajaran. InsyaAllah, saya tidak membenci siapa pun.
Justru, dari kejadian ini, alhamdulillah ‘ala kulli hal, Allah jadikan sebagai jalan untuk saya benar-benar meninggalkan penyebabnya. Karena WhatsApp masih aktif, saya jadi sibuk terus update ini-itu. Padahal tidak semua hal perlu diketahui orang lain.
Maka, bismillah, saya putuskan untuk meninggalkan WhatsApp.
Untuk berubah menjadi lebih baik.
Agar waktuku lebih berkah.
Agar belajarku lebih fokus.
Agar hatiku lebih tenang.
Teruntuk teman-teman yang mungkin membaca tulisan ini, izinkan saya memohon maaf…
Maaf jika pernah ada sikap, kata, atau tindakan saya yang menyakiti baik kepada laki-laki maupun perempuan.
Baik yang saya sadari maupun tidak.
Baik dalam bentuk ghibah, su’udzon, atau kesalahan lainnya.
Semoga Allah lapangkan hati kita semua untuk saling memaafkan.
Aku ingin menyampaikan apa yang pernah Rasulullah ﷺ sabdakan:
“Sesungguhnya aku ingin menghadap Allah tanpa ada seorang pun yang menuntutku dalam urusan darah maupun harta.” (HR. Ahmad, 17191. Dinyatakan hasan oleh al-Albani)
Dan untuk temanku yang kusayang… maafkan yah.
Semoga Allah selalu limpahkan petunjuk dan taufik-Nya kepada kita.
Semoga Allah jaga kita dalam ketakwaan.
Semoga kita bisa jauh dari keinginan untuk tampil dan eksis, terlebih sebagai wanita yang biidznillah sudah berusaha menutup aurat dengan benar.
Sungguh, Allah mencintai hamba yang kaya namun tidak menonjolkan diri.
Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, yang kaya hati, dan yang menyembunyikan amalnya.” (HR. Muslim, no. 2965)
“Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan jalan keluar baginya.” (QS. At-Thalaq: 2)
Barakallahu fiikum…





