Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali kita merasa cemas dan khawatir tentang rezeki. Namun, penting untuk memahami konsep rezeki dengan benar agar kita bisa menjalani hidup dengan lebih tenang dan penuh keberkahan. Rezeki tidak hanya terbatas pada gaji atau penghasilan kita, tetapi juga meliputi segala hal yang bermanfaat bagi kita, seperti kesehatan, keturunan, hadiah, dan banyak lagi. Allah-lah yang mengatur dan memberikan rezeki kepada kita, dan dengan memahami hal ini, kita dapat memperkuat tawakal kepada-Nya.
Definisi rezeki memiliki dua makna utama.
Pertama, segala yang bisa dimanfaatkan oleh seseorang.
Tidak satu pun hewan yang bergerak di atas bumi melainkan dijamin rezekinya oleh Allah. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuz). (QS. Hud: 6)
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya ruh qudus (Jibril), telah membisikkan ke dalam batinku bahwa setiap jiwa tidak akan mati sampai sempurna ajalnya dan dia habiskan semua jatah rezekinya. Karena itu, bertakwalah kepada Allah dan perbaguslah cara dalam mengais rezeki. Jangan sampai tertundanya rezeki mendorong kalian untuk mencarinya dengan cara bermaksiat kepada Allah. Karena rezeki di sisi Allah tidak akan diperoleh kecuali dengan taat kepada-Nya.” (HR. Musnad Ibnu Abi Syaibah 8: 129 dan Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir 8: 166, hadits sahih. Lihat Silsilah Al-Ahadits As-Shahihah no. 2866).
Kedua, segala sesuatu yang dimiliki oleh seseorang.
(yaitu) orang-orang yang melaksanakan salat dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka. (QS. Al Anfal: 3)
Infakkanlah sebagian dari apa yang telah Kami anugerahkan kepadamu sebelum kematian datang kepada salah seorang di antaramu. Dia lalu berkata (sambil menyesal), “Ya Tuhanku, sekiranya Engkau berkenan menunda (kematian)-ku sedikit waktu lagi, aku akan dapat bersedekah dan aku akan termasuk orang-orang saleh.” (QS. Al Munafiqun: 10)
Rezeki sudah diatur oleh Allah, bukan karena jerih payah kita atau pemberian dari manusia lainnya. Oleh karena itu, kunci utama adalah ikhtiar dan tawakal kepada Allah.
Dengan memahami konsep seperti ini, kita tidak perlu terlalu khawatir menjalani kehidupan ini. Yang terpenting adalah melakukan ikhtiar sesuai dengan sunnatullah untuk mencari rezeki, sehingga rasa tawakal kepada Allah pun akan muncul. Seperti binatang melata yang pun Allah beri rezeki, maka bagi manusia yang beriman kepada-Nya, rezeki juga pasti akan diberikan. Kita tidak perlu merasa cemas tentang kebutuhan sehari-hari, seperti apa anak kita akan makan atau bagaimana biaya sekolahnya.
Karena sesungguhnya, rezeki telah ditetapkan oleh Allah, dan pekerjaan yang kita lakukan juga merupakan bagian dari takdir-Nya. Jadi, jika kita ingin mendapatkan penghasilan, tentu saja kita harus berusaha. Namun, kita tidak perlu khawatir berlebihan, karena Allahlah yang telah menetapkan rezeki kita, dan Dia pasti akan memberikan yang terbaik bagi hamba-Nya yang beriman.
Ikhtiar dan Tawakal
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada kita pentingnya tawakal kepada Allah dalam mencari rezeki. Beliau bersabda, “Sungguh, seandainya kalian bertawakkal kepada Allah sebenar-benar tawakkal, niscaya kalian akan diberi rizki sebagaimana rizki burung-burung. Mereka berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar, dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang” (Hr. Ahmad, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).
Korelasi Rizki dengan Takwa
Siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya dan menganugerahkan kepadanya rezeki dari arah yang tidak dia duga. Siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya. Sesungguhnya Allahlah yang menuntaskan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah membuat ketentuan bagi setiap sesuatu. (QS. Al Talaq: 2-3)
Ketika kita bertakwa kepada Allah, menjalani kehidupan ini akan terasa lebih ringan. Makna dari rezeki yang tidak disangka adalah bahwa dunia akan mengikuti keadaan tersebut.
Sebagai contoh, ketika kita mengalami kesulitan keuangan seperti tidak memiliki biaya untuk membayar SPP, namun tiba-tiba Allah memberikan rezeki yang tidak terduga sehingga kita bisa membayarnya.
Ketika kita mendekatkan diri kepada Allah, dan kita sedang mengalami kemacetan rezeki, tiba-tiba Allah memberikan jalan keluar yang tidak kita duga sebelumnya.
Mungkin ada pertanyaan yang muncul, misalnya, “Ustadz, saya memiliki teman yang malas shalat, namun rezeki dia lancar dan perusahaannya besar. Apakah ini merupakan istidraj?”
Perlu dipahami bahwa hal tersebut dapat dikategorikan sebagai istidraj, yaitu ketika seseorang menerima kenikmatan atau kemudahan duniawi sebagai bentuk pengujian dari Allah. Namun, rezeki yang diterima tersebut tidak selalu membawa berkah, karena seharusnya cara bersyukur atas rezeki yang diterima adalah dengan beribadah kepada Allah.
Karunia Allah yang mengandung berkah tidak akan diperoleh jika kita tidak taat kepada-Nya. Oleh karena itu, keberkahan rezeki akan terwujud ketika kita taat kepada Allah, dan hadirnya rezeki tersebut akan menutup segala kemudhorotan dalam kehidupan kita.
Dunia akan ikut jika fokusnya akhirat
Penting juga untuk menjadikan fokus utama kita adalah akhirat, bukan dunia.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang (menjadikan) dunia tujuan utamanya maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya dan menjadikan kemiskinan/tidak pernah merasa cukup (selalu ada) di hadapannya, padahal dia tidak akan mendapatkan (harta benda) duniawi melebihi dari apa yang Allah tetapkan baginya. Dan barangsiapa yang (menjadikan) akhirat niat (tujuan utama)nya maka Allah akan menghimpunkan urusannya, menjadikan kekayaan/selalu merasa cukup (ada) dalam hatinya, dan (harta benda) duniawi datang kepadanya dalam keadaan rendah (tidak bernilai di hadapannya)” (HR Ibnu Majah).
Orang yang menjadikan dunia sebagai tujuan utamanya dalam hidupnya, sementara akhirat dijadikan sebagai prioritas kedua, akan mengalami kelelahan pada pikiran, hati, dan fisiknya. Kesengsaraan akan semakin bertambah jika seseorang dalam keadaan miskin, namun masih menjadikan dunia sebagai tujuan hidupnya. Hal ini sangat memilukan, karena ketika seseorang kaya pun, dia masih merasa kekurangan dan tidak pernah merasa cukup. Ini adalah akibat dari kehilangan rasa qonaah, yang sebenarnya merupakan hakikat dari kekayaan.
Kekayaan sejati bukanlah tentang seberapa banyak harta yang kita miliki, melainkan kekayaan jiwa. Seorang muslim harus menjadikan fokusnya pada akhirat. Ketika mendapatkan rezeki, dia akan bersyukur, dan ketika menghadapi kesulitan, dia akan bersabar.
Kita tidak boleh mendekat kepada Allah hanya dengan tujuan untuk mendapatkan kekayaan duniawi. Hal ini merupakan hal yang rendah, karena seharusnya kita mendekat kepada Allah dengan niat yang tulus untuk mencapai keberkahan dalam hidup ini.
Nabi Muhammad pernah mengalami masa kekurangan, hanya memiliki dua buah kurma dan air putih. Namun, beliau adalah orang yang paling kaya dalam hatinya.
Dalam memahami konsep rezeki, mindset kita perlu diarahkan bahwa kekayaan sejati adalah kekayaan hati, dan rezeki sesungguhnya adalah yang berkah.
Dunia ini akan datang dalam keadaan hina, oleh karena itu kita tidak boleh terlalu rakus terhadap dunia. Fokus kita seharusnya adalah pada akhirat, namun bukan berarti kita tidak melakukan ikhtiar sama sekali. Dunia adalah sekadar jembatan yang membawa kita melewati kehidupan ini, sementara kita mengumpulkan bekal untuk akhirat yaitu surga Allah.
Dengan memahami konsep rezeki dengan benar, kita dapat menjalani hidup dengan lebih tentram dan penuh keberkahan. Kekayaan sejati bukanlah hanya sekadar memiliki harta, tetapi kekayaan jiwa yang tercermin dari takwa dan tawakal kepada Allah. Dengan demikian, mari kita berusaha keras, tetapi juga tetap bertawakal kepada-Nya, serta menjadikan fokus utama hidup kita adalah mencari keridhaan-Nya di dunia dan akhirat.