Kaidah ke-39
“Boleh Mendahulukan Ibadah dari Syarat Wajibnya, Tapi Tidak Boleh Mendahulukan Ibadah dari Sebab Wajibnya”
Dalam kaidah ini, kita diajarkan tentang pentingnya memahami perbedaan antara sebab wajib dan syarat wajib. Berikut adalah penjelasan lebih lanjut:
- Sebab Wajib: Tanda yang ditetapkan oleh syariat untuk bolehnya melakukan suatu ibadah.
- Syarat Wajib: Tanda yang ditetapkan oleh syariat untuk diwajibkannya melakukan ibadah tertentu.
Sebuah hadits Rasulullah ﷺ menjelaskan tentang pelanggaran sumpah.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa telah bersumpah atas sesuatu, namun ia melihat ada hal lain yang lebih baik, maka hendaknya ia melaksanakan hal yang lebih baik, dan membayar kafarat atas sumpahnya.” (HR. Muslim)
Beliau bersabda bahwa jika seseorang bersumpah untuk tidak melakukan sesuatu, namun setelah itu melihat hal tersebut baik, maka dia diperbolehkan untuk menebus sumpahnya dengan melakukannya.
Misalnya, seseorang bersumpah, “Demi Allah, aku tidak akan mendekati si Fulan.” Namun, ketika mengetahui bahwa Fulan adalah orang yang baik dan rajin mengaji, maka dia boleh menebus sumpahnya.
Dalam Al-Maidah, Allah menyebutkan beberapa tebusan dari sumpah:
- Memberi makan kepada sepuluh orang miskin.
- Memberi pakaian yang layak kepada fakir miskin.
- Memerdekakan budak.
Jika tidak mampu melakukan salah satu dari ketiga hal tersebut, maka dia harus berpuasa selama tiga hari.
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak disengaja (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja. Maka, kafaratnya (denda akibat melanggar sumpah) ialah memberi makan sepuluh orang miskin dari makanan yang (biasa) kamu berikan kepada keluargamu, memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan seorang hamba sahaya. Siapa yang tidak mampu melakukannya, maka (kafaratnya) berpuasa tiga hari. Itulah kafarat sumpah-sumpahmu apabila kamu bersumpah (dan kamu melanggarnya). Jagalah sumpah-sumpahmu! Demikianlah Allah menjelaskan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya). (QS. Al Maidah: 89)
Contoh Kasus
Berikut adalah beberapa contoh yang menggambarkan kaidah ini:
- Zakat
- Sebab Wajib: Adanya nisab (minimum harta yang dimiliki).
- Syarat Wajib: Harta harus telah sampai haul (satu tahun).
- Misalnya, seseorang yang memiliki harta sebesar 85 juta rupiah. Jika harta tersebut telah ada selama satu tahun, maka dia wajib membayar zakat. Namun, jika belum genap satu tahun, meskipun sudah mencapai nisab, zakat belum diwajibkan.
- Tayammum
- Sebab Wajib: Ketidakadaan air.
- Syarat Wajib: Niat untuk melaksanakan shalat.
- Contohnya, jika seseorang dalam perjalanan dan tidak menemukan air untuk wudhu, dia boleh melakukan tayammum dengan niat shalat.
- Menjamak Shalat
- Sebab Wajib: Masuknya waktu shalat pertama.
- Syarat Wajib: Masuknya waktu shalat kedua.
- Menjamak shalat adalah suatu kebolehan untuk menggabungkan dua shalat fardhu dalam satu waktu. Sebab diwajibkannya menjamak shalat adalah ketika waktu shalat pertama telah masuk, sedangkan syarat untuk melaksanakannya adalah waktu shalat kedua juga telah tiba. Dengan kata lain, seseorang diperbolehkan untuk melaksanakan shalat kedua saat waktu shalat pertama sudah dimulai, asalkan waktu shalat kedua sudah masuk. Misal, Shalat Zuhur telah tiba, maka seseorang dapat melaksanakan shalat Asar juga pada waktu Zuhur.
- Mandi Wajib
- Sebab Wajib: Adanya junub (keadaan tidak suci).
- Syarat Wajib: Niat untuk shalat.
- Jika seseorang dalam keadaan junub dan ia mandi dengan niat untuk shalat, maka mandi tersebut sah meskipun waktu shalat belum tiba. Namun, penting untuk diingat bahwa seseorang tidak boleh melakukan mandi wajib sebelum mengalami keadaan junub. Jika ia mandi terlebih dahulu dan kemudian mengalami junub, maka mandi sebelumnya tidak sah. Dalam kasus ini, ia harus mandi wajib lagi setelah mengalami junub agar dapat melaksanakan shalat
- Wudhu
- Sebab Wajib: Adanya hadats kecil.
- Syarat Wajib: Niat untuk shalat.
- Ihram dan Kafarat dalam Dzihar
- Untuk melakukan ihram, seseorang harus memenuhi syarat sebelum melakukan pantangan ihram.
- Allah Ta’ala berfirman, “Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.
Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur.
Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.” (QS. Al Mujaadilah: 2-4)
Kaidah ke-40
“Diwajibkan Melakukan Sesuatu yang Diperintahkan Secara Sempurna, Tapi Jika Tidak Mampu Melakukan Sebagiannya, Maka Dia Tetap Diwajibkan dengan yang Dimampui”
Kaidah ini mengajarkan kita untuk melaksanakan perintah Allah secara sempurna. Namun, jika kita tidak mampu melakukannya sepenuhnya, kita tetap memiliki kewajiban untuk melaksanakan apa yang mampu kita lakukan.
Contoh Kasus
Berikut adalah beberapa contoh yang menjelaskan kaidah ini:
- Shalat
- Seorang yang sehat diwajibkan untuk berdiri, rukuk, dan sujud dalam shalat. Namun, jika seseorang sedang sakit dan tidak mampu berdiri, dia diperbolehkan untuk duduk dan tetap diwajibkan untuk melakukan sujud jika memungkinkan.
- Zakat Fitrah
- Pada saat Idul Fitri, setiap Muslim diwajibkan membayar zakat fitrah. Meskipun jumlah zakat fitrah yang disarankan adalah 2,5 kg beras, jika seseorang hanya memiliki 1 kg pada saat itu, maka itu tetap diperbolehkan.
- Wudhu
- Dalam keadaan darurat, jika seseorang tidak menemukan air untuk berwudhu, dia diwajibkan untuk tayammum.
Semoga catatan kajian ini memberikan pemahaman yang lebih dalam mengenai Kaidah 39 dan Kaidah 40 serta bagaimana kita dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Semoga Allah memudahkan kita semua untuk melaksanakan ibadah dengan benar dan sesuai syariat. Aamiin, Barakallahu Fiikum
Kajian Kitab “Kaidah Fiqih”
Ustadz Dr. Musyaffa’ Ad Dariny, M.A.
Masjid Al Ikhlas Dukuh Bima, Bekasi