Ketika berbicara tentang KPR syariah, banyak pertanyaan muncul di benak kita: Benarkah 100% halal? Apakah sesuai dengan syariat? Bagaimana mekanismenya? Saya ingin berbagi pengalaman pribadi menghadiri launching cluster properti di Bekasi pada 30 November 2024, yang membuka mata saya mengenai pentingnya memahami konsep akad sebelum memutuskan.
Awal Mula: Tertarik Pada Tipe Rumah Tengah
Saat menghadiri acara tersebut, saya dan suami tertarik pada tipe rumah tengah dengan luas bangunan 80 m² seharga kurang lebih 1,3 miliar rupiah. Kami bertanya apakah memungkinkan pembayaran secara cash bertahap, dan pihak developer mengiyakan. Namun, ada ketentuan: jika cicilan dilakukan dalam 12 bulan, harga naik menjadi 1,5 miliar rupiah karena penyesuaian PPN 2025 (12%). Transaksi cash maksimal harus dilakukan sebelum Desember 2024 untuk mendapatkan bebas PPN.
Kami kemudian mencoba mencari solusi lain. 600 juta sebagai DP dan meminta kekurangannya (700 juta) dicicil dalam 12 bulan. Sayangnya, opsi ini tidak diperbolehkan. Sebaliknya, orang yang hanya memiliki DP 10 juta dan cicil maksimal selama 30 tahun justru bisa langsung menempati rumah dengan bantuan KPR bank. Lahaula wala quwata illa billah.
Dari kejadian ini, saya sangat bersyukur telah melakukan cek dan ricek sebelum menyetujui akad. Saya juga sempat melihat beberapa properti syariah lainnya yang dulunya murni developer dengan DP yang cukup lumayan rata-rata DP yang ditawarkan berkisar antara 30% – 50%. Dulu, yang saya tahu, developer benar-benar mengelola uang konsumen yang ingin membeli rumah. Namun, kini banyak developer yang telah bekerja sama dengan bank dan menggalakkan DP 0% dengan cicilan 2–4 juta/bulan untuk rumah di perkotaan. Ya Rabb, di saat bersamaan, saya berdoa semoga Allah memampukan kami untuk mengembangkan properti 100% syariah dengan modal sendiri tanpa bantuan perbankan.
Saran Kerja Sama dengan Bank Syariah
Pihak developer kemudian menawarkan opsi kerja sama dengan bank syariah. Katanya, bank syariah akan membeli rumah dari developer dan menjualnya kepada kami dengan harga sesuai yang ditentukan bank. Kami sempat membayar reservasi sebesar 10 juta rupiah (bersifat refundable) untuk memastikan pilihan ini.
Konsultan Properti Syariah: Harapan dan Realita
Kami juga mencoba berkonsultasi dengan beberapa properti syariah, termasuk SL, LR, dan EP. Konsultan EP awalnya meyakinkan bahwa akad mereka halal dan bebas riba. Kami diminta pihak EP untuk mengirimkan mutasi rekening. Pikiran kami, mungkin mereka ingin mengetahui pemasukan kami tiap bulan oke lah. Ini merupakan pengalaman pertama bagi kami dalam hal seperti ini, karena rumah pertama kami dan beberapa aset tanah kavling lainnya selalu dibeli secara cash bertahap langsung kepada pemilik, baik dalam waktu 3, 6, atau maksimal 12 bulan.
Pihak EP meminta KTP, NPWP, dan mutasi rekening, yang semuanya kami serahkan. Tidak lama kemudian, datanglah format yang harus kami isi. Di sana ada kata-kata seperti “pembiayaan untuk pembelian apa” dan “jangka waktu pembiayaan“. Pada titik ini, kami mulai ilfil. Kami tidak ingin meminjam uang, kami hanya ingin membeli rumah secara kredit (cash bertahap).
Padahal awalnya mereka mengatakan bahwa misalnya developer menjual rumah seharga 1,3 miliar, lalu EP membelinya tunai. Ternyata, EP ini hanyalah penghubung; pelakunya tetap lembaga keuangan. Mereka bertindak sebagai konsultan saja. Rumah dibeli secara tunai oleh lembaga keuangan, baru dijual kepada kami, misalnya dengan harga 1,5 miliar. Itu tidak masalah, halal. Keuntungan yang ada adalah dari jual beli, dan itu diperbolehkan. Namun, pada praktiknya, di format itu tertulis “pembiayaan”. Jika pembiayaan 1 miliar, saya tetap harus membayar 1 miliar.
Dalil Allah sangat jelas dalam Al-Qur’an:
“Orang-orang yang memakan (bertransaksi dengan) riba tidak dapat berdiri, kecuali seperti orang yang berdiri sempoyongan karena kesurupan setan. Demikian itu terjadi karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba.
Padahal, Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS. Al-Baqarah: 275)
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba (rentenir), penyetor riba (nasabah yang meminjam), penulis transaksi riba (sekretaris) dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba.” Kata beliau, “Semuanya sama dalam dosa.” (HR. Muslim, no. 1598).
Berikut adalah kolom perbedaan yang bisa menggambarkan perbedaan antara transaksi jual beli dengan pinjaman uang yang disertai bunga (riba):
No. | Transaksi Jual Beli Secara Kredit (Halal) | Pinjaman Uang dengan Pengembalian Bunga (Riba) |
---|---|---|
1. | Harga Rumah: 1,3 M (harga pokok) | Pinjaman: 1,3 M (jumlah yang dipinjam) |
2. | Harga yang Dibayar: 1,5 M (harga jual yang disepakati) | Jumlah yang Harus Dikembalikan: 1,5 M (termasuk bunga) |
3. | Keuntungan (Margin): 200 juta (selisih antara harga jual dan harga pokok) | Keuntungan (Bunga): 200 juta (keuntungan yang diterima oleh pemberi pinjaman) |
4. | Akad: Pembelian barang dengan harga yang lebih tinggi secara kredit | Akad: Pemberian pinjaman dengan kewajiban mengembalikan lebih dari jumlah yang dipinjam (bunga) |
5. | Hukum: Halal, karena margin keuntungan sudah disepakati dalam akad jual beli | Hukum: Haram (riba), karena adanya tambahan uang yang dibayar di luar pokok pinjaman |
6. | Tujuan: Transaksi jual beli barang dengan harga yang disepakati | Tujuan: Memberikan pinjaman dengan tambahan kewajiban yang harus dibayar sebagai bunga |
7. | Prinsip: Berdasarkan jual beli yang sah, dengan keuntungan yang jelas dan halal | Prinsip: Berdasarkan pinjaman dengan syarat mengembalikan lebih banyak, yang merupakan bentuk riba |
Meskipun secara nominal keuntungan yang diperoleh dalam kedua transaksi terlihat sama (200 juta), namun perbedaan akad yang mendasari kedua transaksi ini sangat penting. Pada transaksi jual beli, keuntungan yang diambil adalah hasil dari margin jual beli yang halal, sementara pada pinjaman, keuntungan yang didapat oleh pemberi pinjaman adalah bentuk bunga yang termasuk dalam kategori riba, yang hukumnya haram dalam Islam.
Fakta di Lapangan: KPR Syariah atau Hanya Istilah?
Setelah mencari informasi lebih lanjut, saya menghubungi dua bank syariah. Berikut hasilnya:
- Bank Syariah 1
Mereka mengenakan denda jika terjadi keterlambatan pembayaran. Ini jelas riba yang bertentangan dengan syariat. - Bank Syariah 2
Meskipun mengklaim 100% halal, mereka bilang uang dari bank syariah ditransfer ke rekening saya dulu sebelum RTGS ke developer. Hal ini lebih mirip akad pinjaman uang, bukan jual beli.
Pelajaran Berharga: Pentingnya Memahami Akad
Pengalaman ini mengajarkan kami beberapa hal penting:
- Pahami Akad Sebelum Memutuskan
Banyak pihak mengklaim produknya halal, namun praktik di lapangan bisa berbeda. Jangan ragu untuk bertanya detail tentang mekanisme akad, terutama jika melibatkan lembaga keuangan. - Alternatif Pembelian Rumah Syariah
Jika memungkinkan, pilih cash bertahap langsung kepada developer atau pemilik rumah tanpa perantara bank. Cara ini lebih sesuai dengan prinsip syariat. - Tidak Semua yang Berlabel Syariah Benar-Benar Syariah
Beberapa lembaga menggunakan istilah syariah untuk menarik minat, tetapi kenyataannya belum tentu murni sesuai syariat.
Refleksi: Solusi Memiliki Rumah Tanpa Riba
Memiliki rumah adalah kebutuhan, tetapi bukan darurat. Jika belum mampu membeli secara tunai atau bertahap tanpa bank, kontrak rumah bisa menjadi alternatif. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barang siapa meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik darinya.” (HR. Ahmad)
Pada akhirnya, kami memutuskan untuk bersabar dan menabung. Biidznillah, kami berharap dapat memiliki rumah kedua dengan cara yang halal, jika belum bisa dengan cara cash keras, akan kami usahakan dengan cara cash bertahap. Kami yakin, langkah ini akan membawa keberkahan dan ketenangan hati.
Semoga Allah memudahkan kita semua untuk memiliki segala sesuatu dengan cara yang halal dan berkah. Namun, saran saya sebelum membeli rumah, mobil, atau aset lainnya, dahulukan haji dan umrah. Umrah dulu, Rumah kemudian. Keduanya memiliki lima huruf yang sama, namun urutan prioritasnya yang harus kita utamakan.
Tidak apa-apa jika masih ngontrak, yang penting utamakan umrah. Lihat saja, banyak yang setelah pulang dari umrah, Allah mudahkan untuk membeli rumah secara cash. Untuk yang masih terjebak dalam riba, semoga Allah mudahkan untuk bertaubat dan menyelesaikan utangnya. Mari jadikan pengalaman ini sebagai pelajaran untuk lebih berhati-hati dan memprioritaskan ridha Allah dalam setiap keputusan. Barakallahu Fiikum.