Setelah menjalani promil yang kedua dengan dokter yang berbeda, akhir tahun 2021 kami justru memilih melakukan perjalanan keliling Sumatera hingga Pulau Sabang ujung Indonesia selama sebulan lamanya. Semua dilakukan dengan santai dan penuh kebahagiaan, hehe…
Setelah momen perjalanan yang menyenangkan, kami memutuskan untuk kembali ke tantangan promil. Mengunjungi rumah sakit di daerah Bekasi yang sayangnya namanya saya lupa. Ulangi lagi, USG transvaginal yang kali ini dilakukan oleh dokter berbeda. Tiga kali USG transvaginal dan dokter yang berganti-ganti, semua itu tidak terasa begitu nyaman. Sebagai tambahan, niat hati ingin langsung melakukan HSG (Hysterosalpingography), tapi ternyata tidak semudah itu.
Dokternya menilai bahwa saya tidak nyaman, bahkan menganjurkan saya untuk berkonsultasi dengan seorang psikolog. Katanya, pikiran saya perlu diperbaiki terlebih dahulu sebelum melanjutkan tindakan HSG. Saya meminta HSG dengan bius, namun dokter menjelaskan bahwa HSG harus dilakukan dalam keadaan sadar. Pulang dengan perasaan gagal untuk HSG, dan kita percaya itu adalah takdir Allah (Qodarullah). Tentu saja, sebagai pasangan yang menjalani perjalanan ini, iman menjadi pegangan.
Tanggapan dokter yang kurang manis menyayangkan, terutama di hadapan suami. Katanya, “Untung suami ibu sabar, kalau gak mungkin udah ditinggalin.” Kalimat ini mengejutkan dan mengundang pertanyaan tentang adab dan etika.
Dalam segala rintangan dan ujian, kita yang memiliki iman meyakini bahwa pernikahan adalah ibadah dan menutup separuh agama. Meskipun dihadapkan pada kondisi yang sulit, kita berusaha menjalani peran sebagai pasangan yang saling melayani dengan baik. Semoga ke depannya ada jalan yang lebih baik untuk melanjutkan ikhtiar agar bisa hamil, aamiin.