Kekayaan dalam pandangan Islam dan bagaimana seharusnya seorang Muslim bersikap terhadap harta. Salah satu tokoh inspiratif yang akan kita bahas adalah sahabat Nabi, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, yang dikenal sebagai saudagar sukses.
Kisah Abdurrahman bin Auf
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dikisahkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan ‘Abdurrahman bin ‘Auf dengan Sa’ad bin Ar-Rabi’ Al-Anshari. Sa’ad, yang terkenal sangat kaya, menawarkan sebagian harta dan salah satu istrinya kepada ‘Abdurrahman. Namun, ‘Abdurrahman menolak dan hanya meminta ditunjukkan ke pasar, dengan berkata:
“Semoga Allah memberkahimu dalam keluarga dan hartamu. Cukuplah tunjukkan kepadaku di manakah pasar.”
Di pasar, ‘Abdurrahman berdagang keju dan samin hingga mendapatkan keuntungan yang besar. Ketika Nabi melihat bekas wewangian pernikahan pada pakaian ‘Abdurrahman, ia bertanya apa yang terjadi. ‘Abdurrahman menjawab bahwa ia telah menikahi seorang wanita Anshar dengan mahar emas sebesar sebuah kurma. Nabi pun berkata, “Lakukanlah walimah walaupun dengan seekor kambing” (HR. Bukhari, no. 2049, 3937 dan Muslim, no. 1427).
Kiat Bisnis Abdurrahman bin Auf
1. Tidak Bergantung pada Pemberian Orang Lain: Abdurrahman menunjukkan sikap mandiri dengan menolak bantuan harta dari Sa’ad. Ia lebih memilih untuk bekerja sendiri dan tidak mau meminta-minta.
2. Ikhtiar dan Tawakal: Abdurrahman memulai bisnis dengan riset pasar yang baik, memahami kebutuhan masyarakat sebelum menyediakan produk. Hal ini penting untuk memastikan bisnis yang dijalankan sesuai dengan permintaan pasar. Misalnya, menjual produk yang diminati masyarakat setempat daripada menyediakan produk yang tidak familiar.
Keutamaan Orang Kaya
Dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa tidak boleh ada hasad kecuali kepada dua orang: orang yang diberi harta dan menginfakkannya di jalan yang benar, dan orang yang diberi ilmu dan mengajarkannya. Ini menunjukkan keutamaan memiliki harta jika digunakan untuk kebaikan:
“Tidak boleh hasad (ghibtoh) kecuali pada dua orang, yaitu orang yang Allah anugerahkan padanya harta lalu ia infakkan pada jalan kebaikan dan orang yang Allah beri karunia ilmu (Al Qur’an dan As Sunnah), ia menunaikan dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari no. 73 dan Muslim no. 816).
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa orang-orang fakir dari kalangan Muhajirin datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berkata, “Orang-orang kaya dengan harta selalu mendapatkan kedudukan tinggi dan nikmat yang terus menerus. Mereka shalat sebagaimana kami shalat. Mereka berpuasa sebagaimana kami puasa. Mereka memiliki kelebihan harta sehingga bisa pergi berhaji, berumrah, berjihad serta bershodaqoh.”
Orang-orang fakir dari kalangan Muhajirin juga pernah mengeluhkan kepada Nabi bahwa orang kaya selalu mendapatkan kedudukan tinggi karena bisa beribadah lebih banyak dengan hartanya. Nabi memberikan solusi dengan menganjurkan dzikir dengan menyebut “subhanallah, walhamdulillah, wallahu akbar” dari setiap dzikir itu 33 kali.
Dalam riwayat Muslim disebutkan, dari Abu Shalih yang meriwayatkan dari Abu Hurairah:
“Orang-orang fakir dari kaum muhajirin kembali kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berkata, ‘Saudara-saudara kami yang kaya mendengar apa yang kami lakukan, maka mereka melakukan hal yang sama.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Itulah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki.'” (HR. Muslim no. 595)
Ketika menjelaskan hadits di atas, disebutkan oleh Imam Nawawi:
“Dalam hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan keutamaan orang kaya yang pandai bersyukur daripada orang miskin yang mau bersabar. Mengenai mana yang lebih utama di antara keduanya, terdapat perselisihan di kalangan para ulama salaf dan khalaf dari berbagai kalangan. Wallahu a’lam.”
Banyak keutamaan orang kaya, namun yang paling baik adalah bertakwa.
Haji, Umrah, Qurban, semua butuh harta. Menikah pun pakai harta. Banyak ibadah yang membutuhkan harta.
Tanggung Jawab dan Amanah Kekayaan
Jika kita diberi kekayaan, kita harus ingat bahwa harta tersebut adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Dari Abu Barzah Al-Aslami, Nabi bersabda bahwa setiap hamba akan ditanya tentang umur, ilmu, harta, dan tubuhnya di Hari Kiamat:
“Kedua kaki seorang hamba tidaklah beranjak pada hari kiamat hingga ia ditanya mengenai: (1) umurnya di manakah ia habiskan, (2) ilmunya di manakah ia amalkan, (3) hartanya bagaimana ia peroleh dan (4) di mana ia infakkan dan (5) mengenai tubuhnya di manakah usangnya.” (HR. Tirmidzi no. 2417, dari Abi Barzah Al Aslami. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.)
Pengelolaan Harta yang Bijak
1. Menafkahi Keluarga: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa seseorang berdosa jika melalaikan orang yang wajib dinafkahi:
“Seseorang cukup dikatakan berdosa jika ia melalaikan orang yang ia wajib beri nafkah.” (HR. Abu Daud no. 1692. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Wajib menafkahi diri sendiri dan keluarga. Jika hartanya sudah mencapai nisab dan bertahan selama setahun, maka wajib dizakati minimal 2,5%.
2. Menghindari Israf dan Tabdzir: Kita harus bijak dalam menggunakan harta, tidak berlebihan dan tidak menghamburkan untuk hal yang tidak perlu. Allah berfirman agar kita makan dan minum, tetapi jangan berlebih-lebihan:
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf: 31).
Tentang tabdzir, Allah Ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (QS. Al-Isra’: 26-27).
Menjadi Kaya dengan Tawakal dan Ilmu
Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling taqwa, bukan yang paling kaya atau paling miskin:
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu.” (QS. Al-Hujurat: 13).
Oleh karena itu, kekayaan harus disertai dengan ilmu dan takwa. Harta yang digunakan tanpa ilmu bisa menjerumuskan pemiliknya pada kemaksiatan, sedangkan ilmu akan mengarahkan pada kebaikan:
“Allah tidak mengatakan bahwa yang paling mulia adalah yang paling miskin atau yang paling kaya di antara kalian.” (Madarijus Salikin, 2: 442).
Punya harta harus punya ilmu, kalau tidak harta hanya untuk berbuat maksiat:
“Seseorang itu bisa menaati Allah dengan benar karena ilmu yang ia miliki. Namun sebaliknya, maksiat itu terjadi umumnya karena harta.” (Miftaah Daar As-Sa’adah, 1:414).
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya ‘aalim itu mengajak manusia kepada Allah dengan ilmu dan perilakunya. Sedangkan, orang yang mengumpulkan harta mengantarkan manusia pada dunia dengan penampilan dan hartanya.”
Orang yang kaya harta seringkali ia menyebabkan pemiliknya celaka, sebab harta memang sangat disukai jiwa. Sehingga ketika jiwa seseorang melihat orang lain menguasai apa yang dicintai itu, ia pun akan berusaha membinasakan orang tadi, seperti yang nyata-nyata terjadi. Berbeda dengan kaya ilmu, yang menyebabkan kehidupan sejati bagi pemiliknya juga bagi kehidupan orang lain. saat seseorang melihat orang yang menguasai ilmu dan senantiasa mencari ilmu, mereka akan mencintai, melayani dan memuliakannya.
Flexing: Pamer Kekayaan
Menjadi kaya jangan sampai menjadi ajang pamer. Ingat peringatan Allah:
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahim, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan ‘ainul yaqin. kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (QS. At-Takatsur: 1-8).
Penutup
Menjadi kaya bukanlah tujuan utama, tetapi bagaimana kita mengelola dan menggunakan kekayaan tersebut sesuai dengan ajaran Islam. Kita harus ingat bahwa harta adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban. Ambil dunia sekedarnya, dan selalu prioritaskan takwa serta ilmu dalam hidup kita. Semoga kita bisa menjadi hamba yang bersyukur dan amanah dalam mengelola segala nikmat yang Allah berikan.
Jazakumullahu khairan wa barakallahu fiikum Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, S.T., M.Sc hafidzahullah atas ilmunya. Terima kasih juga kepada tim Shea Academy yang telah mendirikan sekolah muamalah ini. Dalam Pertemuan 4, banyak sekali ilmu yang didapat. Semoga Allah memberikan kita ilmu yang bermanfaat. Aamiin.