Kajian tentang “Belajar Menjadi Hamba yang Bersyukur“, Ustadz Maududi Abdullah, Lc حفظه الله., mengajak kita untuk merenung pada puluhan ayat Al-Quran yang dengan tegas menyatakan bahwa segala yang ada di langit dan bumi adalah milik Allah.
Al-Quran merupakan petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa, seringkali kita terjebak dalam membaca ayat-ayat tersebut untuk orang lain, tanpa menyadari bahwa pesan itu seharusnya lebih dulu menjadi pengingat bagi diri kita sendiri.
Kita diajak untuk tidak hanya melihat dan mengoreksi orang lain, tetapi lebih dahulu mengintrospeksi diri. Dahulukan diri kita sendiri sebelum mengarahkan kata-kata nasehat kepada orang lain. Islam mengajarkan kita untuk tunduk dan taat kepada perintah Allah dan Rasulullah. Sebab, jika segala milik Allah, wajar jika kita diatur-Nya, dan wajar pula jika kita bersikap patuh.
Ustadz Maududi memberikan perumpamaan yang sangat tepat ketika ia mengibaratkan hubungan kita dengan segala yang dimiliki di dunia ini sebagai titipan, Misal si A yang meminjamkan mobil kepada si B. Jika si A memberikan kepercayaan kepada si B untuk menggunakan mobilnya, ia berpesan agar mobil tersebut digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat, seperti pergi ke kajian atau berkumpul bersama keluarga. Pesan ini muncul dari niat baik si A untuk menjaga kebaikan dan keberkahan.
Namun, ketika si B menanggapi dengan sikap acuh tak acuh, menolak untuk mematuhi aturan yang diberikan, dan bahkan mengabaikan saran dengan berkata, “Lah, gua minjem ngapa ngatur-ngatur lu… suka-suka lah…”, hal ini mencerminkan sikap yang tidak menghargai kepercayaan dan petunjuk yang telah diberikan.
Pada dasarnya, perumpamaan ini mengajarkan kita untuk menyadari bahwa segala yang kita miliki, termasuk suami, orangtua, harta, anak-anak, adalah titipan dari Allah. Oleh karena itu, kita seharusnya menggunakan amanah ini dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan kehendak-Nya agar pemiliknya tidak kecewa atau marah. Ini mencerminkan rasa tanggung jawab kita sebagai hamba-Nya yang harus menjalankan amanah-Nya dengan baik.
Dalam konteks kehidupan sehari-hari, sikap ini mengajarkan kita untuk selalu bersyukur atas segala nikmat yang diberikan Allah, serta menjalankan kewajiban dan tanggung jawab kita dengan penuh kesadaran bahwa kita hanya menjadi pemegang amanah-Nya di dunia ini. Dengan menyadari hal tersebut, kita diharapkan dapat mengelola kehidupan dan aset yang diberikan Allah dengan bijaksana dan penuh keberkahan.
Setiap nikmat yang kita rasakan, dari harta hingga organ tubuh yang lengkap, semuanya adalah pinjaman dari Allah. Bagaimana kita memanfaatkannya merupakan bentuk syukur kita kepada-Nya. Kesadaran bahwa semua ini datang dari Allah seharusnya menjadi kunci utama dalam menjadikan kita hamba yang bersyukur.
Jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Qs. An Nahl: 18)
Organ tubuh yang dianugerahkan Allah, seperti mata dan kaki, memiliki tujuan tertentu. Mata diberikan agar kita membaca Al-Quran, dan kaki diberikan agar kita pergi ke masjid. Kesadaran bahwa semuanya adalah milik Allah seharusnya mendorong kita untuk memanfaatkannya sebaik-baiknya sesuai dengan kehendak-Nya.
Selanjutnya, Ustadz Maududi Abdullah, Lc, menyoroti tiga nikmat utama yang sering terabaikan: kesehatan, keamanan, dan makanan. Jika tiga nikmat ini terpenuhi dalam suatu hari, itu sudah merupakan karunia besar dari Allah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa di antara kamu masuk pada waktu pagi dalam keadaan [1] sehat badannya,[2] aman pada keluarganya, dia [3]memiliki makanan pokoknya pada hari itu, maka seolah-olah seluruh dunia dikumpulkan untuknya”
(HR. Ibnu Majah, no: 4141, Shahih Al-Jami’ush Shaghir no. 5918).
Kita juga diingatkan agar tidak terlalu berlebihan dalam memuja harta. Sebagai manusia yang ingin menjadi hamba yang bersyukur, kita harus membesarkan tiga nikmat utama: kesehatan, keamanan, dan makanan. Kesyukuran yang kita tunjukkan terhadap ketiga nikmat ini akan membawa kita jauh dari kesulitan.
“Jangan engkau membesar-besarkan harta, Jika engkau ingin menjadi manusia bersyukur.”
– Ustadz Maududi Abdullah, Lc حفظه الله.
Harta, kendaraan, rumah, anak, dan keturunan, sebagai penyempurna, seharusnya tidak melampaui pentingnya nikmat Islam, Al-Quran, dan diutusnya Rasul. Agama harus dipandang sebagai nikmat yang paling penting, dan sebagai manusia yang berakal, kita harus mampu mengorbankan hal-hal yang sifatnya sekunder demi agama.
“Orang yg berakal akan mengorbankan sesuatu untuk hal yang penting dibanding menuruti hawa nafsuNya.”
Dengan bersyukur kepada Allah, kita mulai mendekatkan diri pada-Nya. Nikmat yang telah diberikan-Nya seharusnya kita gunakan sesuai dengan izin-Nya. Harta hanya sebagai penyempurna, dan dalam memandangnya, Ustaz Maududi Abdullah, Lc, mengajak kita untuk merenung pada nasib orang miskin agar kita tidak terlalu terpaku pada dunia materi, dan sebaliknya, apabila kita melihat kehidupan orang kaya maka kita akan merasa miskin.
Jadi, apakah kita ingin merasa kaya atau merasa miskin? Mari kita refleksikan tentang organ tubuh kita. Bayangkan, jika ada yang mengajukan tawaran 100 miliar untuk membeli mata Anda, apakah Anda akan setuju? Tentu tidak. Ini menunjukkan bahwa Allah telah memberikan kita nikmat yang tak ternilai. Sebuah anugerah yang begitu luar biasa sehingga kita seharusnya bersyukur.
Dengan demikian, belajar menjadi hamba yang bersyukur adalah perjalanan untuk menyadari dan menghargai segala nikmat yang Allah berikan, serta menggunakannya dengan penuh rasa syukur dan ketaatan kepada-Nya. Semoga catatan kajian ini menjadi pencerahan bagi kita semua. Aamiin, Barakallahu fiikum…