Kebahagiaan dalam hidup seringkali diasosiasikan dengan pencapaian materi atau prestasi, namun, dalam ajaran agama dan kehidupan sehari-hari, kita diberitahu bahwa kebahagiaan sejati dimulai dari ilmu. Sebagaimana disebutkan dalam hadis HR. Bukhari, “Ilmu sebelum berbicara dan amal.” Artinya, segala amal yang kita lakukan haruslah dimulai dari landasan ilmu yang kokoh.
“Berilmulah sebelum kamu berbicara, beramal, atau beraktivitas.” (HR Bukhari).
Pentingnya Ilmu yang Bermanfaat
Allah menegaskan dalam Surah An-Nahl ayat 97 bahwa iman dan amal sholeh tidak akan dapat direalisasikan tanpa adanya ilmu yang benar. Namun, tidak semua jenis ilmu memiliki manfaat yang sama. Ilmu yang hanya sekadar menjadi konten tanpa menghadirkan keimanan dan amal sholeh dinilai tidak akan membawa kebahagiaan sejati. Diperlukan apa yang disebut sebagai “ilmu nafi'”, yaitu ilmu yang memberikan manfaat yang nyata bagi kehidupan sehari-hari.
Siapa yang mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan, sedangkan dia seorang mukmin, sungguh, Kami pasti akan berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang selalu mereka kerjakan. (QS. An Nahl: 97)
Tantangan dalam Pencarian Ilmu
Banyak orang menghadiri kajian-kajian dan melahap banyak bacaan, namun, kebahagiaan sejati tidak akan tercapai hanya dengan sebatas itu. Seorang penuntut ilmu haruslah menunaikan hak ilmu dengan benar. Salah satu aspek penting dalam menunaikan hak ilmu adalah dengan menjaga lisan. Betapa pun banyaknya ilmu yang dimiliki seseorang, jika lisan tidak dijaga dan sering kali menyampaikan kata-kata yang kotor, kasar, atau mencela, maka ilmu tersebut tidak akan bermanfaat.
Orang-orang yang telah Kami anugerahi Kitab (Taurat dan Injil) mengenalnya (Nabi Muhammad) seperti mereka mengenal anak-anak mereka sendiri. Sesungguhnya sekelompok dari mereka pasti menyembunyikan kebenaran, sedangkan mereka mengetahui(-nya). (QS. Al Baqarah: 146)
Hubungan Antara Ilmu dan Kualitas Ucapan
Ucapan seseorang memiliki dampak besar terhadap seberapa jauh ilmu yang dimilikinya dapat dimanfaatkan. Sebagai contoh, jika seseorang memiliki brand dan memiliki seorang brand ambassador yang tidak menjaga ucapannya dengan baik, maka hal tersebut dapat merusak reputasi dan keberkahan dari brand tersebut. Allah akan mencabut keberkahan dari ilmu seseorang jika lisan mereka tidak dijaga dengan baik.
Ilmu merupakan anugerah dari Allah, dan hanya sebagian orang yang dipilih-Nya yang mampu memahaminya. Salah satu syarat penting dalam menampilkan ilmu tersebut adalah dengan menjaga lisan kita. Ketika kita mengucapkan kata-kata kasar atau kotor, bukan hanya dosa yang kita perbuat, namun juga mengurangi manfaat dari ilmu yang kita miliki. Sehingga, sebanyak apapun ilmu yang kita punya, jika tidak diiringi dengan tindakan menjaga lisan, maka ilmu tersebut tidak akan berfungsi, dan hidup kita akan terasa seolah-olah tanpa ilmu sama sekali.
Pernahkah kita bertanya, mengapa seseorang yang sudah mengaji masih saja tidak mampu mengatasi masalah dengan baik? Hal ini bisa jadi karena ilmu yang dimiliki tidaklah bermanfaat. Ketika dihadapkan pada masalah dan kita mengetahui bahwa ilmu kita seharusnya membantu kita untuk bersabar, namun ternyata kita gagal melakukannya, mungkin karena Allah mematikan kemampuan kita untuk mengamalkan ilmu sabar tersebut.
“Janganlah engkau marah, maka bagimu surga.” (HR. Thabrani)
“Jika seseorang dalam keadaan marah, lantas ia ucapkan, ‘A’udzu billah (Aku meminta perlindungan kepada Allah)’, maka redamlah marahnya.” (HR. As-Sahmi dalam Tarikh Jarjan, 252. Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 1376)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, seorang lelaki berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Berilah aku wasiat.” Beliau menjawab, “Janganlah engkau marah.” Lelaki itu mengulang-ulang permintaannya, (namun) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (selalu) menjawab, “Janganlah engkau marah.” (HR. Bukhari, no. 6116)
Maka, mari kita jaga lisan kita dengan baik. Karena lisan memiliki pengaruh besar terhadap sejauh mana kita dapat memanfaatkan ilmu yang dimiliki. Sebagaimana diungkapkan oleh sebagian ulama, lisan adalah anggota tubuh yang sulit untuk dikendalikan. Bahkan, ada yang menyebutkan bahwa lisan merupakan bagian dari tubuh yang paling rentan terhadap kerusakan, seringkali memberontak saat kita berusaha berbuat baik.
Yunus bin Ubaid pernah mengatakan, “Aku menyadari bahwa diriku mampu bersabar dan menghadapi puasa di saat musim panas. Namun, di sisi lain, saya tidak mampu menahan lisan saya untuk tidak mengucapkan hal-hal yang tidak bermanfaat.
Syarat mutlak untuk memiliki ilmu yang bermanfaat adalah dengan menjaga lisan kita.
Lebih mudah untuk menghadiri kajian daripada menjaga lisan, dan kenyataannya hal ini terbukti. Jika lisan kita mudah untuk dijaga, maka tidak akan ada masalah dalam berdakwah. Tidak akan ada cela-mencela di dunia dakwah. Semuanya akan berjalan dengan baik. Namun, harus diakui bahwa menjaga lisan merupakan hal yang sulit dilakukan, kecuali bagi mereka yang diberkahi oleh Allah.
Ada lima hal yang perlu diperhatikan:
1. Kesadaran bahwa apa yang kita ucapkan memiliki pengaruh terhadap hidayah dan taufik Allah
Ini yang sering dilupakan: kita beranggapan bahwa mengucapkan kebohongan hanya sebagai dosa semata. Padahal, kenyataannya, dampaknya jauh lebih luas, seperti yang diungkapkan oleh Malik bin Dinar. Membicarakan hal-hal yang tidak bermanfaat dapat menyebabkan berbagai konsekuensi negatif, termasuk melemahkan badan dan lain sebagainya.
Malik bin Dinar rahimahullah berkata, “Bila engkau merasakan kerasnya hati, lemahnya badan, dan seretnya rezeki, maka ketahuilah! Sesungguhnya itu disebabkan karena engkau telah berbicara perkara yang tidak bermanfaat bagimu.” (Faidhul Qodir 1/286)
Jika Anda merasa tubuh cepat lelah, omzet turun, atau rezeki berkurang, bahkan jika rezeki melimpah tapi tanpa keberkahan, ketahuilah bahwa Anda pasti telah mengucapkan hal-hal yang bukan urusan Anda. Mungkin saja hal itu terjadi hari ini, kemarin, tiga hari yang lalu, atau bahkan dalam satu pekan ini.
Jangan berharap bisa menjalankan shalat dengan khusyuk jika pada hari itu Anda telah mengghibahkan orang.
Dengan menjaga lisan, kita akan merasakan berkah dalam kehidupan kita. Jadi, jangan membicarakan hal yang bukan urusan kita. Jika kita ingin memiliki lisan yang baik, kita harus menyadari bahwa apa yang kita ucapkan memiliki dampak dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam hubungan keluarga dan dengan anak-anak kita.
Kita harus bisa menjaga lisan, dan hindari membuang-buang waktu dengan membicarakan hal-hal yang bukan urusan kita.
2. Untuk menjaga agar lisan kita tetap baik, kita perlu mengaitkannya dengan nilai sebuah waktu. Kita harus memahami betapa pentingnya menjaga waktu dalam kehidupan kita
Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran. (QS. Al Asr: 1-3)
Nikmat dunia yang paling berharga adalah waktu. Setiap ucapan yang tidak jelas hanya akan membuat kita kehilangan waktu yang berharga.
Kita perlu melakukan introspeksi terhadap diri sendiri. Terlalu sering kita menghakimi orang lain, namun kita lupa untuk mengevaluasi diri sendiri secara positif. Kita cenderung mengaudit orang lain, tetapi lupa untuk mengaudit diri sendiri.
Bila berkumpul, mari berbicara mengenai hal yang bermanfaat. Jika tidak, lebih baik kita hindari. Setiap detik dalam hidup kita akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah.
Dari Abu Barzah Al-Aslami, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kedua kaki seorang hamba tidaklah beranjak pada hari kiamat hingga ia ditanya mengenai: (1) umurnya di manakah ia habiskan, (2) ilmunya di manakah ia amalkan, (3) hartanya bagaimana ia peroleh dan (4) di mana ia infakkan dan (5) mengenai tubuhnya di manakah usangnya.” (HR. Tirmidzi)
Selama kita tidak menyadari betapa berharganya waktu, jangan berharap kita dapat menjaga lisan dengan baik.
Orang-orang yang ingin terhindar dari kerugian harus mengisi waktu mereka dengan hal-hal yang bermanfaat, seperti kebenaran dan kesabaran.
3. Prinsip yang harus dipegang adalah menjaga amal sholeh kita dengan sungguh-sungguh, bahkan lebih berupaya daripada menjaga harta yang kita miliki.
Selama kita tidak menyadari pentingnya menjaga amal sholeh, jangan harap kita mampu menjaga lisan dengan baik.
Menjaga amal sholeh adalah tindakan yang harus dilakukan setelah kita mengerjakannya. Sebagai contoh, ketika Al-Hasan mendengar bahwa seseorang telah menggibahi dirinya, beliau mendatangi orang tersebut dengan membawa kurma sebagai tanda bahwa seseorang yang berbuat baik tidak membalas kejahatan dengan kejahatan.
Dikatakan kepada Al-Hasan Al-Bashri bahwasanya si fulan telah mengghibahmu. Maka beliaupun mengirim sepiring makanan yang manis kepada orang yang telah mengghibahnya tersebut lalu berkata kepadanya, “Telah sampai kabar kepadaku bahwasanya engkau telah menghadiahkan (pahala) kebaikan-kebaikanmu kepadaku maka aku ingin membalas kebaikanmu tersebut. (Al-Adzkaar hal 791)
Kita dapat melihat betapa pentingnya menjaga lisan sebagai salah satu cara untuk menjaga amal sholeh kita.
Tauhid dan iman memiliki peran penting dalam menjaga amal sholeh dan lisan kita.
Berkata Imam An-Nawawi, “Kami telah meriwayatkan dari Ibnul Mubarok bahwasanya ia berkata, “Kalau seandainya aku mengghibahi seseorang maka aku akan menggibahi kedua orangtuaku karena mereka berdualah yang lebih berhak (untuk memeperoleh) kebaikan-kebaikanku” (Al-Adzkaar hal 791)
Artinya, melakukan ghibah atau menggunjingkan orang lain merupakan tindakan yang benar-benar merugikan kita. Hal ini mengurangi pahala yang seharusnya kita dapatkan.
Penting untuk menjaga lisan guna mempertahankan amal sholeh yang telah kita lakukan. Melindungi amal sholeh dengan menjaga lisan adalah hal yang sangat penting. Iman para ulama berperan aktif dalam kehidupan sehari-hari. Setiap ucapan dan perbuatan akan dipertanggungjawabkan. Pentingnya memiliki ilmu yang benar dan bermanfaat.
Jika kita menjadi sasaran fitnah atau ghibah, itu berarti kita menerima pahala tanpa melakukan usaha untuk beramal. Memohon pertolongan Allah agar kita dapat menjaga lisan dengan baik.
Katakanlah (Nabi Muhammad), “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu. Maka, siapa yang menghendaki (beriman), hendaklah dia beriman dan siapa yang menghendaki (kufur), biarlah dia kufur.” Sesungguhnya Kami telah menyediakan neraka bagi orang-orang zalim yang gejolaknya mengepung mereka. Jika mereka meminta pertolongan (dengan meminta minum), mereka akan diberi air seperti (cairan) besi yang mendidih yang menghanguskan wajah. (Itulah) seburuk-buruk minuman dan tempat istirahat yang paling jelek. (QS. Al Kahfi: 29)
Ujian datang dari Allah dengan kebijaksanaan-Nya yang Maha Agung.
Seberat apapun ujian yang kita hadapi, jika kita memiliki ilmu yang tepat, maka ujian itu akan terasa lebih mudah untuk dilewati. Sebaliknya, ujian sekecil apapun akan terasa berat jika kita tidak memiliki ilmu yang cukup.
Ujian tidak hanya berkaitan dengan besar atau kecilnya ujian itu sendiri, melainkan juga tentang seberapa banyak ilmu yang kita miliki. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk terus belajar dan mengamalkan ilmu yang kita peroleh.
Alhamdulillah, tiga poin telah dijelaskan dalam kajian Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri hafizhahullah dengan tema ‘Jangan Meremehkan Orang Lain’, serta prinsip menjaga lisan yang baik telah dibahas dalam bab 2, pasal 1, poin 9 dari buku ‘Menyucikan Jiwa dan Raganya’ halaman 34 yang diterbitkan oleh Pustaka Al Ihsan. Insya Allah, dua poin berikutnya, yaitu poin 4 dan 5, akan dibahas pada pekan depan. Semoga Allah senantiasa memberikan ilmu yang bermanfaat kepada kita semua, dan membantu kita untuk selalu menjaga lisan kita. Aamiin. Barakallahu Fiikum