Dalam studi Fiqh, terdapat tiga konsep penting pemahaman hukum syariat Islam: ijtihad, taklid, dan bermadzhab. Memahami konsep-konsep ini adalah langkah pertama dalam memperdalam pengetahuan tentang hukum Islam.
1. Ijtihad: Upaya Pemahaman Hukum Syariat
Ijtihad merupakan usaha untuk memahami hukum syariat Islam melalui analisis terhadap dalil-dalil yang ada. Para ulama berusaha mengambil hukum dari sumber-sumber Islam, seperti Al-Quran dan hadis, untuk memecahkan berbagai permasalahan fiqhiyah. Namun, penting untuk diingat bahwa tidak semua masalah termasuk dalam ranah ijtihad. Misalnya, masalah seperti kewajiban shalat zuhur atau apakah Al-Quran adalah firman Allah? masalah ini tidak termasuk dalam ranah ijtihad, melainkan merupakan bagian dari ushul (pasti).
2. Taklid: Mengikuti Pendapat Ulama
Taklid mengacu pada mengikuti pendapat seorang ulama tanpa memahami dalil-dalilnya. Ini menjadi penting bagi mereka yang belum mencapai tingkat ijtihad. Namun, taklid buta, di mana seseorang memegang pendapatnya sebagai satu-satunya yang benar tanpa memahami dalil-dalilnya, sangat dicela oleh para ulama.
Dalam konteks taklid, penting untuk memahami bahwa tindakan tersebut dilakukan ketika seseorang belum memiliki pengetahuan yang memadai tentang dalil-dalil hukum. Taklid, karena kita belum memiliki kemampuan untuk melakukan ijtihad. Oleh karena itu, menyalahkan pendapat orang lain tidaklah tepat, terutama untuk seseorang yang masih dalam tahap taklid. Hal ini disebabkan karena mereka belum memahami secara mendalam dalil-dalil tersebut.
Saat seseorang melakukan taklid, tindakan tersebut dilakukan untuk kepentingan dirinya sendiri. Tujuannya adalah untuk menjalankan agama dengan sebaik mungkin sesuai dengan pemahaman yang dimilikinya saat ini. Namun, perlu dihindari bentuk taklid yang buta, di mana seseorang menganggap pendapat gurunya sebagai satu-satunya yang benar. Ini bisa membawa dampak negatif, karena menolak segala pendapat selain dari guru atau mazhab tertentu.
Taklid buta, di mana seseorang memperlakukan pendapat gurunya seolah-olah seperti Al-Qur’an yang turun dari langit, atau seperti hadits rasul yang tidak boleh ditolak. sangat tidak dianjurkan oleh para ulama memiliki keyakinan yang kuat terhadap pendapat gurunya adalah suatu hal yang baik, namun ini tidak boleh dilakukan dengan meniadakan segala pendapat lainnya.
3. Bermadzhab: Kesetiaan pada Salah Satu Madzhab
Bermadzhab mengacu pada keterikatan seseorang pada satu mazhab fiqh tertentu dalam menentukan hukum-hukum agama. Ini membantu menjaga konsistensi dan keselarasan dalam pemahaman dan praktik agama.
Syarat-syarat Ijtihad
Seorang yang hendak melakukan ijtihad haruslah memahami ilmu tentang:
- Ushul Fikih: Ini diperlukan agar seseorang dapat memahami maksud dari dalil-dalil yang ada, serta mengerti bagaimana cara mengambil hukum dari dalil tersebut sesuai dengan kebutuhan syariat yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
- Nahwu dan Bahasa Arab: Keterampilan dalam bahasa Arab dan ilmu nahwu penting untuk mengambil hukum dari suatu dalil dengan benar. Karena Alquran diturunkan dalam bahasa Arab, pemahaman mendalam tentang bahasa ini memungkinkan seseorang untuk memahami subtansi ayat dengan lebih baik.
- Dalil-dalil Hukum Islam: Mengerti berbagai jenis dalil hukum, seperti yang sahih, dhaif, atau naskh, dll. Menjadi kritis terhadap penafsiran, tidak serta merta menetapkan sesuatu sebagai halal atau haram tanpa pemahaman yang matang, adalah tuntutan yang harus dipenuhi. Para ulama, saat menghadapi dalil, selalu mengedepankan kajian dan refleksi yang mendalam.
- Sebab Nuzul Ayat: Pemahaman tentang konteks dan sebab-sebab turunnya ayat-ayat Alquran memberikan wawasan tentang inti dari perintah-perintah Allah yang terkandung di dalamnya.
- Mengenal Pembahasan Ijma’ dan Khilaf: Mengetahui tentang kesepakatan (ijma’) dan perbedaan pendapat (khilaf) dalam masalah-masalah hukum Islam adalah bagian penting dari keilmuan. Ini memungkinkan seseorang untuk memahami kerangka berpikir yang ada di balik keputusan-keputusan hukum. Menguasai Malakah dalam Semua Aspek, Selain sekadar memiliki pengetahuan, seorang mujtahid harus memiliki keahlian yang mendalam dalam semua aspek ilmu yang diperlukan. Ini tidak hanya tentang memiliki informasi, tetapi juga tentang menguasai dan memahami materi tersebut secara menyeluruh hingga menjadi bagian integral dari dirinya.
Jadi, ijtihad bukanlah sekadar memahami teori-teori tertentu, tetapi sebuah penggabungan pengetahuan dan keterampilan yang menyatu dalam seorang mujtahid untuk memahami, menerapkan, dan mengembangkan hukum syariat sesuai dengan tuntunan Islam yang murni.
Jenis-jenis Mujtahid
- Mujtahid Mutlaq: Seorang mujtahid mutlaq adalah mereka yang memiliki kemampuan untuk melakukan ijtihad dalam semua bab fiqih. Mereka memiliki pengetahuan yang luas tentang hadits-hadits yang berkaitan dengan berbagai aspek fiqih, mulai dari masalah tharah (bersuci), shalat, zakat, puasa, haji, umrah, muamalah, dan sebagainya. Kemampuan mereka meliputi seluruh bidang fiqih, sehingga mereka dapat memberikan fatwa tentang berbagai masalah hukum agama.
- Mujtahid Juz’iy: Seorang mujtahid juz’iy adalah mereka yang mampu melakukan ijtihad dalam bidang fikih yang mereka kuasai. Mereka memiliki pemahaman yang mendalam dalam suatu bidang tertentu, misalnya ibadah, namun mungkin kurang dalam bidang muamalah (urusan dunia). Oleh karena itu, mereka hanya berwenang untuk berijtihad dalam masalah-masalah yang mereka kuasai secara mendalam. Contohnya, seorang mujtahid juz’iy mungkin hanya memberikan fatwa tentang masalah ibadah dan meninggalkan masalah muamalah kepada mujtahid yang memiliki keahlian lebih dalam dalam bidang tersebut.
Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah pernah ditanya:
Berapa hadits yang dibutuhkan seseorang agar dia bisa berfatwa, apakah cukup 100.000 hadits??
Imam Ahmad menjawab: tidak cukup.Kemudian orang tersebut bertanya kembali: 200.000 hadits?
Imam Ahmad menjawab: tidak cukup.Kemudian orang tersebut bertanya kembali: 300.000 hadits?
Imam Ahmad menjawab: tidak cukup.Kemudian orang tersebut bertanya kembali: 400.000 hadits?
Imam Ahmad menjawab: tidak cukup.Kemudian orang tersebut bertanya kembali: 500.000 hadits?
Imam Ahmad menjawab: Aku harap itu cukup.(Kitab Al Jami’ li ‘ulum Al Imam Ahmad bin Hambal – Ushul Fikih juz 5, Hal 125)
Kewajiban Muqallid
Bagi mereka yang belum mencapai tingkat ijtihad, wajib untuk bertanya kepada ahli ilmu jika mereka tidak mengetahui suatu masalah. Mereka tidak diperbolehkan untuk mengatakan bahwa pendapat tertentu lebih tepat tanpa memahami secara mendalam dalil-dalilnya.
… Maka, bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui. (QS. Al Anbiya: 7)
Kita perlu memahami bahwa, saat masih dalam tahap taklid dengan pendapat ulama, tidaklah tepat bagi kita untuk menyatakan bahwa suatu pendapat lebih tepat atau benar dibandingkan yang lain. Kita tidak memiliki kapasitas untuk menilai secara objektif dalam konteks ilmu agama. Oleh karena itu, tidaklah benar jika kita mengatakan bahwa satu pendapat lebih kuat daripada yang lain.
Namun, sebagai seorang mukallaf yang masih berada dalam proses belajar dan berpegang pada taklid, kita dapat mengambil pandangan ulama yang memberikan ketenangan bagi hati.
Tamadzhub: Sikap Terhadap Mazhab
Hukum Tamadzhub
Dalam menetapkan hukum tamadzhub, terdapat beberapa pendapat:
- Wajib: Menurut Syaikh al-Amin Syinqithi, sejumlah ulama ushul fiqih sepakat bahwa mempraktikkan tamadzhub adalah suatu kewajiban dalam agama Islam.
- Mubah: Menurut Qadhi ‘Iyadh dan Ibnu Hubairah, umat Islam diperbolehkan untuk mengikuti dan mempelajari madzhab-madzhab yang berbeda.
- Haram: Menurut Ibnu Hazam, seseorang yang secara langsung mengambil semua pendapat dari Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, atau Ahmad, tanpa mempertimbangkan dalil-dalil yang jelas, telah melanggar kesepakatan umat Islam (ijma’). Bahwa bagi mereka yang sudah memahami dalil-dalil hukum dengan baik, melakukan taklid tidaklah diperbolehkan.
Pembelajaran Fiqh Madzab (Pengantar Fiqh) Pekan 6 oleh Ustadz Muhammad Ihsan, S.Ag., M.HI. حافظه الله
Referensi kitab:
- “Sejarah dan Evolusi Fiqh” karya Dr. Bilal Philips.
- “Al Madkhal ila ‘Ilmil Fiqhi – Fuqaha Littadrib wal Istisyarat”.