Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS. Al Baqarah: 183)
Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata, “Apabila engkau mendengar ayat Yaa ayyuhalladzina amanu (Hai orang-orang yang beriman), maka siapkan pendengaranmu. Karena setelahnya akan dibicarakan perintah yang harus engkau kerjakan. Atau larangan yang harus kau tinggalkan.”
Orang yang tidak beriman tidak akan mampu menjalankan puasa dengan sepenuhnya. Keimanan memiliki tingkatan-tingkatan yang berbeda. Keimanan Abu Bakr, sahabat Nabi, melebihi keimanan seluruh manusia di muka bumi ini.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan al-Baihaqi, disebutkan bahwa Rasulullah pernah bersabda, “Jika ditimbang keimanan Abu Bakar dengan keimanan seluruh umat, maka akan lebih berat keimanan Abu Bakar.”
Kita harus berlomba-lomba meningkatkan keimanan kita, karena keimanan dan takwa adalah kunci dalam menjalankan ibadah. Pada dasarnya, ibadah puasa bertujuan untuk mencapai takwa.
Pada awal munculnya Islam, boleh membayar fidiyah sebagai ganti puasa. Namun kemudian, puasa diwajibkan.
Bagi yang tidak mampu berpuasa karena sakit atau dalam perjalanan, dapat menggantinya atau membayar fidiyah sebagai ganti puasa.
Bahkan Ibnu Abbas menganggap bahwa wanita hamil dan wanita menyusui sama hukumnya seperti orang manula yang berat melakukan puasa, dimana mereka hanya diwajibkan untuk membayar fidyah tanpa harus mengqodho. Beliau pernah melihat wanita yang hamil atau menyusui maka beliau berkata, “Kedudukanmu seperti orang yang tidak mampu untuk berpuasa, maka hendaknya engkau memberi makan seorang miskin untuk ganti setiap hari berbuka, dan tidak ada qodho bagimu.”
(Diriwayatkan oleh Al-Bazzaar dalam musnadnya 11/227 no 4996 dan Ad-Daruqthni dalam sunannya 3/196 no 2382 dan Ad-Daruquthni berkata, “Ini adalah isnad yang shahih”)
Ibnu Umar juga berpendapat seperti pendapat Ibnu Abbas.
Ada seorang wanita hamil bertanya kepada Ibnu Umar, maka Ibnu Umar berkata, “Berbukalah dan berilah makan kepada seorang miskin untuk mengganti setiap harinya, dan janganlah mengqodhlo”
(HR Ad-Daruquthni dalam sunannya 2/196 no 2388. Abdurrozzaq dalam mushonnafnya 4/217 no 7558, 7559, dan 7561 juga meriwayatkan atsar dari Ibnu Umar dengan makna yang sama dengan riwayat diatas)
Referensi : https://almanhaj.or.id/2878-kewajiban-fidyah-bagi-wanita-hamil-dan-wanita-menyusui.html
Hikmah dari ibadah puasa adalah bahwa Allah tidak membutuhkan puasa kita, tetapi kita yang membutuhkan puasa untuk meningkatkan takwa. Puasa Ramadan memberikan momentum bagi kita untuk mendidik diri agar menjadi individu yang bertakwa.
Puasa mengajarkan kita untuk mengendalikan diri dan taat kepada Allah. Meskipun makanan tersedia di meja dan tidak ada yang memperhatikan, namun dengan takwa kepada Allah, kita mampu menahan diri untuk tidak mengkonsumsinya.
Selain menahan makan dan minum, puasa juga mengajarkan kita untuk menahan diri dari perbuatan-perbuatan yang tidak sesuai dengan ajaran agama, bahkan lebih dari itu, puasa mengajarkan kita untuk meningkatkan kualitas spiritual dan moral kita.
Menurut Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisi -Abdurrahman bin Muhammad (682H) rahimahullahu ta’ala menjelaskan bahwa puasa memiliki tiga tingkatan:
- Tingkat pertama adalah puasa bagi orang awam, yang hanya mampu menahan diri dari makan dan minum. Pada tingkat ini, yang diperlukan hanya menghindari segala kegiatan yang dapat membatalkan puasa.
- Tingkat kedua adalah puasa bagi orang-orang spesial, di mana selain menahan diri dari makan dan minum, juga menjaga pandangan, tangan, dan lisan dari perilaku yang tidak baik.
- Tingkat ketiga adalah puasa bagi orang-orang yang benar-benar bertakwa kepada Allah. Selain menjaga diri dari makan dan minum, mereka juga menjaga hati dan pikiran agar tidak terjerumus dalam perbuatan yang tidak senonoh. Puasa pada tingkat ini merupakan bentuk kesempurnaan dalam takwa kepada Allah.
Mukhtasar Minhajul Qashidin (hal. 45)
Kita sebagai umat Islam dianjurkan untuk berusaha mencapai tingkat ketiga ini, di mana puasa tidak hanya sekadar menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga menjaga kesucian hati dan pikiran, serta bertakwa kepada Allah dengan sepenuh hati.
Allah tidak memerlukan seseorang untuk berpuasa jika dalam dirinya masih terdapat ucapan yang tidak benar atau perilaku yang tidak sesuai dengan ajaran-Nya. Sungguh, Allah tidak membutuhkan puasa dari kita, karena Dia Maha Kaya dan Maha Pemurah. Namun, kita sebagai hamba-Nya yang lemah butuh menjalankan puasa sebagai sarana untuk meningkatkan keimanan kita.
Janganlah kita terjebak dalam tingkatan pertama, di mana puasa hanya membuat kita merasakan haus dan lapar semata. Puasa seharusnya menjadi lebih dari sekadar menahan lapar dan haus, tetapi juga sebuah kesempatan untuk membersihkan diri, meningkatkan ketakwaan, dan mendekatkan diri kepada Allah.
Semoga Allah menerima segala amal ibadah puasa kita pada tahun ini, memberikan kemudahan, serta memberikan semangat kepada kita untuk memaksimalkan segala amalan ibadah di bulan Ramadan. Semoga Allah juga mengampuni dosa-dosa kita semua. Aamiin. Barakallahu fiikum.
Jazakallahu khairan Ustadz Abdul Hamid atas nasihat singkat yang disampaikan setelah selesai shalat tarawih. Semoga Allah memberkahi Ustadz Abdul dan keluarganya. Aamiin.
At Masjid Al Muthmainnah Perumahan Maya Persada Regency. Jatibening Baru, Bekasi.
2 Ramadhan 1445 H