Mengenal Mazhab Syafi’i & Hambali
Mazhab Syafi’i
Imam Syafi’i, yang nama aslinya Muhammad bin Idris Asy-Syafii (Al Mutthaliby), merupakan salah satu tokoh besar dalam sejarah Islam. Dilahirkan di Ghuzzah pada tahun 150H dan wafat di tahun 204 H. Ibunya membawa beliau ke Mekkah untuk memastikan silsilahnya tetap terhubung dengan keluarga ayahnya, yang merupakan keturunan Quraisy. Keturunan Imam Syafi’i bertemu dengan Nabi Muhammad SAW melalui kakek beliau, Abdul Manaf, menambah keistimewaan dalam nasabnya.
Pujian ulama terhadap Imam Syafi’i
- Rabi’ bin Sulaiman Al-Muradi, murid terdekatnya, mengungkapkan bahwa Imam Syafi’i memiliki ketekunan luar biasa dalam mengkhatamkan Al-Qur’an, bahkan sampai dua kali dalam sehari selama bulan Ramadan, yang artinya beliau mengkhatamkan Al-Qur’an hingga 60 kali dalam sebulan.
- Sufyan bin ‘Uyainah, gurunya di Mekkah, menyebut Imam Syafi’i sebagai manusia terbaik di zamannya, menunjukkan penghargaan yang sangat tinggi terhadap keilmuan dan karakternya.
- Ahmad bin Hambal, pendiri Mazhab Hambali yang juga merupakan murid Imam Syafi’i, menegaskan bahwa tak seorang pun yang memegang pena dan tinta pasti ada jasa dari Imam Syafi’i.
Sejarah Mazhab Syafi’i
Fase Pembentukan Mazhab dimulai dari diri Imam Syafi’i sendiri yang menulis dalam literatur fiqih dengan karya-karyanya, seperti Al-Umm untuk fiqih dan Risalah untuk ushul fiqih, yang menjadi fondasi awal pembentukan mazhab ini.
Beliau merupakan seorang mujtahid yang mampu memberikan fatwa sendiri di usia 15 tahun. Berbeda dengan beberapa imam mazhab lainnya, seperti Imam Maliki, Imam Hanafi, dan Imam Hambal yang tidak menuliskan fiqihnya.
Imam Syafi’i menuliskan fiqihnya, mengeluarkan dua kaul yaitu Jadid (Baru) yang tercermin dalam kitab Al-Umm, dan Kaul Qadim (Perkataan Lama), yang dipengaruhi oleh ajaran Imam Ahmad Hambal.
Di antara murid-murid Imam Syafi’i, ada beberapa yang sangat berperan dalam penyebaran dan pengembangan mazhab ini, seperti Buwaithi sebagai pewaris ilmu Syafi’i, Rabi’ bin Sulaiman yang menjadi perawi kitab Al-Umm, dan Al-Muzani yang turut membantu dan memberi kontribusi melalui kitabnya yang bernama Mukhtashar.
Fase perkembangan mazhab Syafi’i
Beberapa tokoh untuk mengembangkan mahzab ini yaitu Ibnu Suraij, Al-Qaffal Al-Mawarzy, dan Metode Khusaniyyin yang berasal dari Iraq. Selain itu, Al-Isfirayini juga merupakan salah satu tokoh yang mengembangkan metode Iraqiyyin.
Kitab Al-Hawy yang ditulis oleh Al-Mawardi, yang merupakan sumber penting dalam penjelasan ajaran Imam Syafi’i. Selain itu, kitab Nihayatul Mathlab yang ditulis oleh Imam Al-Juwaini, juga memperkuat landasan mazhab.
Selain itu, Al-Ghazali, yang merupakan murid dari Al-Juwaini, juga menghasilkan karya penting seperti Al-Wajiz, Al-Wasith, dan Al-Basith. Semua ini menunjukkan bahwa pembelajaran dalam mazhab Syafi’i harus dilakukan secara bertahap.
Fase penyaringan pendapat mazhab Syafi’i
Fase pertama, Imam Rafi’i melalui kitab Al-Muharrar, sementara Imam Nawawi, seorang ahli hadits, menghasilkan kitab Minhajutthalibin.
Fase kedua, Imam Ramli dan Imam Ibnu Hajar al-Haitamy berperan penting dengan karya-karya mereka, Nihayatul Muhtaj dan Tuhfatul Muhtaj.
Adanya fase penyaringan ini menunjukkan upaya untuk merumuskan pandangan yang lebih tajam dan kuat dalam mazhab Syafi’i. Di antara ulama belakangan, Imam Ramli dan Ibnu Hajar al-Haitamy lebih diprioritaskan untuk memandu pemahaman terhadap ajaran Imam Syafi’i.
Ushul Mazhab Syafi’i
Imam Syafi’i memperhatikan beberapa prinsip utama, yaitu Alquran, Sunnah, Ijma’Sahabat, Qiyas, dan istishab, yang merupakan dasar dalam menetapkan hukum-hukum agama.
Meskipun Imam Syafi’i dikenal sebagai seorang ulama hadis, namun Imam Hambal lebih dikenal dalam mengumpulkan hadis Nabi secara luas.
Pendapat yang menjadi mu’tamad dalam mazhab Syafi’i
- Pendapat yang disepakati oleh Rafi’i dan Nawawi
- Pendapat yang dikuatkan oleh Nawawi
- Pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Hajar Al-Haitami dan Ramli
Mazhab Syafi’i tersebar luas di berbagai wilayah, termasuk Mesir, Yaman, Sri Lanka, Indonesia, Malaysia, Suriname, Kenya, dan Somalia.
IMAM AHMAD BIN HAMBAL
Nama asli Ahmad bin Muhammad bin Hambal Asy-Syaibani, lahir pada tahun 163 H dan wafat pada tahun 241 H.
Pujian Kepada Beliau
- Imam Syafii berkata, “Ahmad adalah imam dalam 7 bidang: hadits, fiqh, bahasa Arab, Alquran, kefakiran, zuhud, wara’, sunnah.” Pengakuan ini menunjukkan kecerdasan dan ketakwaan yang luar biasa dari Imam Ahmad bin Hambal.
- Abu Zur’ah berkata kepada Abdullah, putra Ahmad bin Hambal, dengan menyatakan, “Ayahmu menghafal 1 juta hadits. Aku pernah berdiskusi dengannya dalam banyak bab, dan ilmunya sungguh mengagumkan.”
- Pujian juga datang dari gurunya, Abdur Razzaq As-Shan’any, yang berkata, “Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih paham tentang fiqh dan lebih wara’ daripada Ahmad bin Hambal.”
Sejarah Mazhab Hambali
Fase pembentukannya sampai tahun 403 H.
Ahmad bin Hambal tidak secara langsung menulis fiqih-fiqihnya. Namun, murid-muridnya seperti Ashhabul Masail menuliskan catatan tanya jawab yang diajukan kepada Imam Ahmad. Catatan ini kemudian dijadikan dasar untuk kitab Abu Dawud, yang masih tetap mengajukan pertanyaan langsung kepada Imam Hambal. Selain itu, Abdullah dan Shalih, anak-anak Imam Hambal, serta Ishaq Al-Kausaj, turut berperan dalam meneruskan warisan ilmiah yang ditinggalkan oleh sang Imam.
Abu Bakar Al Khallal mengumpulkan fatwa-fatwa Imam Ahmad dari Ashhabul Masail dalam kitab Al-Jami’. Al-Khiraqy menyusun ringkasan ilmunya dalam kitab Mukhtashar Al-Khiraqy. Hasan bin Hamid menyusun kitab Tahdzibul Ajwibah, di mana ia mengeluarkan kaidah-kaidah dalil dari Imam Hambal yang berdasarkan pertanyaan-pertanyaan dari Ashhabul Masail.
Fase penyaringan pendapat Mazhab Hambali sampai tahun 885 H
Qadhi Abu Ya’la menyusun Kitab Riwayatain wal Wajhain, Imam Ibnu Qudamah menyusun kitab Al Muqni’ serta karya-karyanya yang terkenal seperti Umdatul Fiqh, Al Kaafi, dan Al Mughniy. Ibnu Taimiyyah, yang dikenal luas, memperoleh pertanyaan dari Ibnu Muflih, seorang murid dari Syaikhul Islam Ahmad bin Ibnu Taimiyyah. Kitab Al Furu’ adalah karya Ibnu Muflih. Selanjutnya, Al-Mardawy melakukan rekonstruksi dari kitab Al Muqni’ menjadi sebuah karya yang disebut Al Inshaf, yang menjadi rujukan utama dalam pembahasan Mazhab Hambali.
Fase stabilisasi Mazhab Hambali
Al-Hajjawy menyusun kitab Al-Iqna dan Zaadul Mustaqni (syarah mumti’), yang menjadi sumber pembelajaran utama di Saudi Arabia. Kemudian, Ibn Najjar dengan kitab Al Muntaha. Mar’i Al-Karmi kemudian menggabungkan pendapat yang ada dalam Al-Iqna dan Al Muntaha menjadi kitab yang diberi judul Ghayatul Muntaha. Sementara itu, Al-Buhuty menyusun Kasyaf Al Qina’ (syarah dari Al-Iqna).
Ushul Mazhab Hambali mengacu pada Alquran, Sunnah, Ijma’ sahabat, ijtihad sahabat, hadits dhaif, dan qiyas, dengan penekanan pada riwayat daripada pendapat akal sendiri.
Dalam mu’tamar mazhab Hambali, pendapat Ibnu Najar dalam kitab Muntaha dan Hajjawi dalam kitab Iqna’ menjadi acuan utama. Namun, jika terjadi perbedaan pendapat di antara keduanya, maka diputuskan sesuai dengan pendapat Mar’i al-Karmi dalam kitab Ghayatul Muntaha.
Mazhab ini tersebar luas di Palestina, Arab Saudi, serta dalam dunia maya saat ini.
Fiqh Madzab (Pengantar Fiqh) Pekan 4 oleh Ustadz Muhammad Ihsan
Referensi kitab:
⁃ Sejarah dan evolusi fiqh karya dr bilal philips
⁃ Al madkhal ila ‘ilmil fiqhi – fuqaha littadrib wal istisyarat
Semoga bermanfaat, aamiin. Barakallahu fiikum