Perbedaan pandangan dalam fiqh telah ada sejak zaman Rasulullah. Ketika dihadapkan pada situasi yang membutuhkan penentuan hukum, sahabat Rasulullah seringkali memiliki pendapat yang beragam. Menghadapi perbedaan pendapat ini, penting bagi umat Islam untuk memahami alasan di baliknya dan menyikapinya dengan bijaksana.
Perbedaan Pendapat di Zaman Nabi
Contoh konkret dari perbedaan pendapat di zaman Nabi adalah ketika beliau memberi instruksi tentang shalat Asar di Perang Ahzab. Sebagian sahabat memahami untuk menunggu hingga sampai di Bani Quraidzah sebelum melaksanakan shalat, sementara yang lain menganggap cukup menunggu di tengah perjalanan. Ini merupakan contoh dari perbedaan pendapat yang muncul di antara sahabat.
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma dia berkata, ”Nabi ﷺ berkata kepada kami ketika telah kembali dari perang Ahzab, ”Janganlah seorang pun shalat Ashar kecuali di Bani Quraizhah.”
Sebagian dari para sahabat mendapati waktu shalat Ashar telah tiba saat masih di perjalanan. Maka sebagian dari mereka ini berkata, ”Kita tidak melaksanakan shalat Ahsar sampai kita tiba di Bani Quraizhah.”
Sebagian yang lain berkata, ”Bahkan kita akan melaksanakan shalat. Nabi ﷺ tidak menghendaki kita melakukan seperti itu.” Setelah itu, perselisihan pendapat tersebut disampaikan kepada Nabi ﷺ dan beliau tidak mencela salah satu dari keduanya.” (HR Bukhari)
Sebab-sebab Perbedaan Pendapat
Perbedaan pendapat disebabkan dalil:
- Beberapa ulama mungkin tidak memiliki pengetahuan tentang dalilnya.
- Meskipun dalilnya sampai, tapi tidak shahih
- Terdapat situasi di mana ulama menggunakan dalil yang dianggap tidak cukup kuat sebagai dasar argumennya.
Perbedaan pendapat disebabkan pemahaman terhadap dalil:
- Meskipun dalil tersedia, ada yang cenderung menginterpretasikan makna dalil secara berbeda, kadang-kadang menjauh dari makna yang jelas.
- Terdapat perbedaan dalam pemahaman terhadap tujuan atau makna yang ingin disampaikan oleh teks dalil.
- Beberapa perbedaan muncul dalam cara praktis menerapkan dalil dalam kehidupan sehari-hari.
Beberapa contoh dari ketidaktahuan terhadap dalil antara lain:
- Abu Bakar ash-Shiddiq tidak mengetahui hadits tentang bagian nenek (HR. Abu Dawud).
- Umar tidak mengetahui tentang hadits yang menetapkan maksimal tiga kali meminta izin saat berkunjung (HR. Bukhari No. 2062).
- Ibnu Abbas tidak mengetahui tentang haramnya nikah mut’ah (HR. Bukhari No. 5115).
Dalil yang sampai tidak shahih
Dalam masalah kulit bangkai yang disamak. Imam Ahmad meriwayatkan hadits: “Kulit bangkai yang sudah disamak itu suci” (HR. Ahmad No. 2435), namun hadits ini dianggap lemah. Sementara hadits yang shahih menyatakan: “Jangan manfaatkan kulit bangkai” (HR. Ahmad no. 18780).
Dalil yang tidak dianggap hujjah
Masalah apakah puasa saat membayar kaffarah sumpah wajib harus dilakukan secara berurutan atau tidak. Dalam hal ini, beberapa ulama memiliki pandangan berbeda. Sebagai contoh, dalam kasus melanggar sumpah, kaffarah dapat berupa memberi makan 10 orang miskin, membebaskan budak, atau puasa selama 3 hari. Namun, apakah puasa harus dilakukan secara berurutan atau tidak merupakan perbedaan pendapat di antara ulama.
Apakah qiraah syadzah dapat dijadikan dalil, perlu dicatat bahwa meskipun tidak ada dalam Al-Qur’an, namun sebagian sahabat meriwayatkannya dalam riwayat kubra ahad. Imam Hambal berpendapat bahwa qiraah syadzah dapat dijadikan dalil.
Ada yang memalingkan dalil dari makna zhahirnya
Apakah jual beli boleh dibatalkan (khiyar majelis) sebelum berpisah? Prinsip “penjual dan pembeli sama-sama memberikan hak khiyar, selama transaksi belum berakhir, kecuali kedua belah pihak menyerahkan hak mereka. Hal ini disepakati secara umum (muttafaqun ‘alaihi). Berpisah dalam konteks ini dapat dilakukan baik secara verbal maupun fisik.
Imam Malik ditanya, “Mengapa engkau meriwayatkan hadits ini di Muwattha, sedangkan engkau tidak mengamalkannya?”. Imam Malik menjawab, “Agar orang bodoh sepertimu paham, Aku meninggalkannya karena ilmu.” Pesan ini mengingatkan kita untuk tidak dengan mudah menilai bahwa ulama tidak memahami ilmu, karena keputusan mereka didasarkan pada pemahaman yang mendalam.
Perbedaan dalam memahami maksud teks dalil
Apakah air yang terkena najis di bawah dua qullah (212 liter) masih dapat dianggap suci?. Sebagian berpendapat bahwa air tetap suci, sesuai dengan hadits yang menyatakan bahwa “air itu suci, tidak ada yang mengubahnya menjadi najis” (HR. Abu Dawud No. 66).
Teks hadits menjelaskan bahwa jika najis jatuh ke dalam air, asalkan tidak mengubah warna, rasa, atau bau air tersebut, maka air tersebut tetap dianggap suci (umum). Hal ini berlaku baik jika volume air tersebut mencapai dua qullah atau lebih dari dua qullah.
Dalam hadits tersebut, disebutkan bahwa jika volume air mencapai dua qullah, maka air tersebut tidak najis. Sebaliknya, jika air tidak mencapai dua qullah dan terkena najis, maka air tersebut menjadi najis, meskipun tidak ada perubahan pada sifat-sifatnya. Hal ini merupakan penjelasan khusus terkait situasi di mana volume air kurang dari dua qullah. Jika volume air tersebut kurang dari dua qullah, maka keputusan mengenai kebersihannya bergantung pada apakah ada perubahan pada sifat-sifat air tersebut seperti perubahan warna, bau, atau rasa.
Perbedaan dalam mempraktikkan dalil
Praktik gharar yang dapat merusak akad jual beli.
Misalnya, dalam konteks restoran “all you can eat”, muncul pertanyaan seberapa banyak makanan yang boleh kita konsumsi dengan harga yang sama. Hal ini menciptakan ketidakpastian (gharar). Demikian pula, dalam pembayaran untuk menggunakan WC umum dengan tarif tetap, pertanyaan muncul tentang seberapa banyak air yang dapat kita gunakan dengan biaya tersebut.