Memuliakan & Menjaga Kehormatan Diri
- Menjaga Kehormatan Diri
Seorang pencari ilmu seharusnya menjadi pionir dalam mengamalkan Alquran, menjaga adab Islam, dan bersikap berakhlak mulia. Contoh nyata yang mencerminkan kebaikan sikap dan perilaku memiliki pengaruh yang lebih besar dalam memotivasi orang.
Dalam hal berbicara, kebijaksanaan seorang individu bukan hanya tercermin dalam kata-katanya, melainkan juga dalam adab dan akhlaknya. Jika seseorang mahir berbicara namun kurang memiliki adab dan akhlak yang baik, maka nilai pembicarannya menjadi tidak berarti. Sebaliknya, orang yang mungkin tidak begitu mahir berbicara namun memiliki akhlak yang baik, akan mendapatkan penghormatan dan terkenal di tengah-tengah masyarakat.
Jadi, menjaga kehormatan diri melalui sikap dan perilaku yang mulia adalah suatu keharusan bagi setiap penuntut ilmu.
Kemudian, pasti akan Kami kabarkan (hal itu) kepada mereka berdasarkan ilmu (Kami). Sedikit pun Kami tidak pernah gaib (jauh dari mereka). (QS. Al Araf:7)
Jadilah pemaaf, sebagaimana Rasulullah yang memaafkan kaum Quraisy meski mereka telah mendzalimi umat Muslim. Ajaklah manusia kepada kebaikan beri nasihat tidak perlu Panjang lebar, bisa dengan yang ringan seperti dengan dua kata, seperti “Yuk ke masjid,”(ini juga sudah termasuk amar ma’ruf).
Rasulullah seperti yang diajarkan dalam hadits Bukhari yaitu mengutamakan momen memberikan nasihat dengan singkat, takut sahabat-sahabatnya merasa bosan,
Tidak perlu risau terhadap orang yang cerewet, mencela, atau menghina. Biarkan kata-kata negatif mereka, dan balaslah dengan doa, seperti ulama yang dicaci maki namun mengucapkan “Jazaakallahu khairan.”
Jaga etika dan akhlak yang baik, menjauhi perbuatan yang dapat mencemarkan reputasi, seperti mencukur jenggot, melihat-lihat saat berjalan, atau bersikap tidak pantas di tempat umum. Pilihlah teman yang beretika, menjauhi orang yang berperilaku kotor, fasiq, dan tak memiliki rasa malu.
Dalam kehidupan, hubungan dapat dikategorikan menjadi empat:
- Kholil (Teman Dekat): Hubungan ini sangat spesial, di mana satu individu hanya memiliki satu kholil. Kholil adalah sahabat sejati, seseorang yang selalu ada di dalam suka dan duka, dan dapat diandalkan dalam segala hal.
- Teman Biasa: Teman-teman biasa adalah mereka yang kita akrabi dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun tidak seintim dengan kholil, mereka tetap berperan penting dalam menyemangati dan berbagi pengalaman.
- Kenal: Ini adalah tingkat hubungan di mana kita mengenal seseorang tanpa terlibat secara intensif dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin kita bertukar sapaan dan mengetahui beberapa informasi dasar tentang mereka.
- Tidak Kenal Tapi Berinteraksi: Hubungan ini mencakup situasi seperti jual beli dan bisnis. Meskipun kita tidak mengenal secara personal, interaksi ini diarahkan pada tujuan tertentu, seperti transaksi bisnis.
Penting untuk menjaga baik hubungan tingkat kholil maupun teman biasa agar tidak melibatkan diri dalam hubungan yang merugikan.
“Barangsiapa yang tidak menjaga ilmu, niscaya ilmu tidak akan menjaganya.”
– Imam Syafi’i
- Selektif Memilih Teman
Memiliki teman adalah suatu kebutuhan jiwa, menjadi hal yang esensial baik bagi individu introvert maupun ekstrovert. Dalam Alquran, QS. Taha: 29-34 dan QS. Al-Anfal: 62 memberikan petunjuk tentang arti penting hubungan antarmanusia.
Jadikanlah untukku seorang penolong dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku. Teguhkanlah kekuatanku dengannya, dan sertakan dia dalam urusanku (kenabian) agar kami banyak bertasbih kepada-Mu, dan banyak berzikir kepada-Mu. (QS. Taha: 29-34)
Jika mereka hendak menipumu, sesungguhnya cukuplah Allah (menjadi Pelindung) bagimu. Dialah yang memperkuat kamu dengan pertolongan-Nya dan dengan (dukungan) orang-orang mukmin. (QS. Al Anfal: 62)
Pemilihan teman dalam perjalanan mencapai tujuan, terutama dalam lingkup belajar, memiliki nilai yang sangat bermanfaat. Sebagaimana disampaikan Ibn Mani’ rahimahullah, “Penuntut ilmu sebaiknya menghindari pergaulan dengan mereka yang dungu, tak tahu malu, berreputasi buruk, bebal, dan tolol. Interaksi intensif dengan mereka dapat menjadi penghalang terhadap kebaikan dan memicu kesengsaraan.”
Ar-Raghib Al-Ashfahaniy menambahkan, “Penularan perilaku dari teman duduk tidak hanya terjadi melalui ucapan dan perbuatan, tetapi juga melalui pengamatan kita terhadap mereka.”
Hadits dari Abu Dawud menyatakan, “Agama Seseorang sesuai dengan agama teman dekatnya. Hendaklah kalian melihat siapakah yang menjadi teman dekatnya.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, no. 927)
Oleh karena itu, penting untuk selektif dalam memilih teman dekat, karena mereka dapat membentuk karakter dan nilai-nilai dalam diri kita. Sebelum memilih teman, perhatikanlah dengan bijaksana siapa yang akan menjadi sahabat dalam perjalanan hidup dan penuntutan ilmu.
- Memaksimalkan perjuangan dalam menjaga ilmu
Belajar dari guru tanpa menghapal ilmu hanya akan menghasilkan pengetahuan yang kurang bermanfaat, terutama jika tidak diulang-ulang atau didiskusikan.
Syaikh Ibn Utsaimin memberikan pandangan yang sangat bijak, “Ilmu yang kami hapalkan sedikit, sementara yang dibaca banyak. Namun, manfaat dari ilmu yang kami hapalkan justru lebih besar dibandingkan dengan yang kami baca.”
Menjaga ilmu dengan berdiskusi adalah kunci agar pengetahuan tersebut bertahan lama dalam diri dan lebih melekat. Belajar bersama teman bisa melihat sudut pandang baru dan memperkuat pemahaman.
Setiap individu memiliki tipe fokus otak yang berbeda.
Auditori lebih memahami dengan mendengar langsung, visual memerlukan penglihatan, sedangkan kinestetik harus melibatkan praktek. Mengakomodasi gaya belajar ini dalam proses pembelajaran dapat meningkatkan efektivitas dan daya ingat.
Dalam diskusi, menghafal, dan berdebat, bukanlah tindakan yang ngeyel atau bersikap keras kepala, melainkan bentuk keaktifan dan keinginan untuk mendalami ilmu. Bertanya adalah langkah bijak untuk memperjelas pemahaman dan memperluas wawasan.
- Menghormati Ahli Ilmu
Menghormati ahli ilmu adalah kewajiban yang sangat ditekankan, seperti yang diuraikan dalam buku “Rof’ul malam ‘an aimmatil a’lam” karya Syaikhul Islam Ibnutaimiyah, yang dirancang khusus untuk membantu penuntut ilmu dalam memahami dan menghormati guru.
Keutamaan ulama sangat agung, di mana mereka sebagai orangtua rohani yang memiliki peran penting dalam membimbing umat. Adab murid kepada guru merupakan bentuk penghormatan, melibatkan sikap tawadhu, perhatian penuh terhadap pelajaran, menghindari tingkah laku tidak pantas, dan menjaga adab berbicara di hadapannya. Berterimakasih dan mendoakannya menjadi bagian penting, tanpa menampakkan perasaan tak butuh dan tanpa menyakiti guru baik dengan ucapan maupun perbuatan.
Dalam menyikapi kekeliruan ulama, terdapat enam poin:
- Memastikan kebenaran berita terkait perkelakuan ulama.
- Memastikan apakah perbuatan tersebut benar-benar keliru, yang menjadi tugas ulama yang kompeten.
- Tidak mengikuti kesalahan ulama sebagai tindakan penegakan kebenaran.
- Mencari alasan yang wajar untuk memaklumi kesalahan, memberikan pemahaman yang lebih mendalam.
- Berusaha menasehati ulama dengan cara yang halus dan rahasia, bukan dengan celaan, terlebih di depan umum.
- Tetap menjaga reputasi dan kehormatan ulama agar tidak dirusak di hati kaum Muslimin.
Dengan demikian, sikap hormat dan adab yang baik terhadap ahli ilmu.
- Serahkan ilmu yang pelik kepada ahlinya.
Menyerahkan ilmu yang pelik kepada ahlinya adalah tindakan bijak yang dihargai oleh mereka yang mengagungkan ilmu. Mereka percaya bahwa pemecahan dan pembahasan mengenai ilmu yang kompleks harus diserahkan kepada ulama pakar. Hal ini menghindarkan diri dari beban yang berlebihan dan memastikan bahwa pengetahuan dipahami dan diuraikan oleh mereka yang memiliki keahlian dalam bidang tersebut.
Orang yang menghormati ilmu tidak hanya percaya pada kebijaksanaan ulama saat berbicara, tetapi juga menghargai ketika ulama memilih untuk diam. Ini menunjukkan bahwa setiap kata yang diucapkan atau ketidakucapan ulama didasarkan pada pengetahuan dan pertimbangan yang matang.
Dengan memberikan tanggung jawab penyelesaian masalah ilmu yang pelik kepada ahlinya, kita memastikan bahwa pengetahuan tersebut diterjemahkan dengan benar dan tidak melebihi batas kemampuan. Sikap ini mencerminkan rasa hormat dan kepercayaan terhadap keahlian ulama, yang pada gilirannya dapat memperkaya dan memberi arah yang benar dalam pemahaman ilmu yang mendalam.
ADAB WAL AKHLAK PEKAN 3 oleh Ustadz Ratno Abu Muhammad Lc, M.Ag
Referensi kitab:
- Khulasah Ta’dzimul Ilmi oleh Syaikh Shalih bin Hamd Al-‘Ushaimi