16. Menghargai Majelis Ilmu & Tempat Penyimpanan Ilmu
Penuntut ilmu harus memahami dengan baik hak-hak majelis ilmu, seperti duduk dengan sopan, mendengarkan dengan seksama, dan memperlihatkan penghargaan kepada guru dengan tidak memalingkan pandangan tanpa keperluan yang mendesak. Kisah zaman Imam Malik di Madinah mengajarkan kita pentingnya tetap fokus dalam mencari ilmu, seperti yang dilakukan oleh Yahya yang tidak tergoyahkan oleh kehadiran gajah.
Imam Ad Dzahabi menuturkan, “Ketika itu para musafir datang membawa gajah. Murid-murid Imam Malik berhamburan keluar ingin melihat gajah tersebut dari dekat. Semua beranjak, kecuali Yahya bin Yahya. Ia tetap duduk dan memandang ke satu arah, ke mana lagi kalau bukan kearah Imam Malik. Melihat hal itu Imam Malik mendekat dan bertanya, ”Mengapa engkau tidak keluar untuk melihat gajah?”
Yahya menjawab,”Aku jauh-jauh datang dari Andalusia hanya untuk melihat Anda (menuntut ilmu), bukan untuk melihat gajah.”
Keteguhan itu membuat Imam Malik berdecak kagum. Sejak peristiwa itu Imam Malik menjulukinya dengan ‘aqilu Andalus’ (lelaki berakal dari Andalusia).
Penting juga bagi kita untuk tidak terpengaruh oleh gangguan sekitar saat berada dalam majelis ilmu, seperti kegaduhan atau keinginan untuk bermain-main. Kita harus menjaga etika dengan tidak mengobrol atau melakukan aktivitas lain yang bisa mengganggu fokus. Ketika bersin, hendaknya kita merendahkan suara, dan jika merasa ingin menguap, tutuplah mulut kita agar tidak terbuka.
Rumus “memberikan udzur dan pemaafan” juga harus diterapkan pada diri sendiri ketika melihat perilaku orang lain. Lebih dari itu, kita harus menyadari bahwa tujuan dari menempatkan ilmu bukanlah untuk memperhatikan sekitar kita, melainkan untuk kita sendiri.
Ketika kita melihat seseorang melakukan kesalahan, sebaiknya tidak langsung protes tanpa mempertimbangkan bahwa mungkin mereka belum mengetahui hukumnya. Ilmu yang kita miliki seharusnya diterapkan terlebih dahulu pada diri sendiri, dengan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Setelah memahami adab dan akhlak yang baik, barulah kita memiliki pijakan yang kuat untuk memberikan nasehat kepada orang lain dengan cara yang lembut dan membangun, tanpa menyakiti atau bersikap menggurui.
Tempat Penyimpanan Ilmu
Selain menghargai majelis ilmu, penting juga untuk memuliakan tempat penyimpanan ilmu, seperti Al-Quran. Penuntut ilmu seharusnya berupaya untuk menjaga bukunya dengan baik, merawatnya, menghargainya, dan memberikan perhatian yang pantas. Mereka tidak seharusnya menggunakan buku sebagai tempat penitipan barang atau menggulung buku seperti terompet. Jika ingin meletakkannya, hendaknya dilakukan dengan lembut dan penuh perhatian. Kisah Ishaq bin Rahawaih yang melempar buku yang dipegangnya mengingatkan kita akan pentingnya memperlakukan buku dengan penuh hormat sebagai sumber ilmu yang mulia.
Pada suatu hari, ketika Ishaq bin Rahawaih melemparkan buku yang dipegangnya, Ahmad bin Hambal melihatnya dan merasa marah, lalu berkata, “Begitukan cara memperlakukan perkataan para manusia pilihan (perkataan Nabi dan orang-orang shaleh)?”
Penempatan buku juga penting untuk dipertimbangkan, tidak sembarangan meletakkannya di depan telapak kaki atau di atas lantai. Sebaliknya, hendaknya kita memegang buku dengan kedua tangan saat membacanya, sebagai tanda penghargaan dan harapan akan mendapatkan berkah dari ilmu yang dipelajari. Dengan melakukan hal ini, InsyaAllah, kita akan berhasil dalam menuntut ilmu dengan baik.
17. Membela Ilmu
Ilmu punya kemuliaan tinggi, sehingga kita perlu menjaganya dari upaya orang-orang yang ingin merusaknya. Jika seseorang yang sudah diakui sebagai ahli melihat adanya ketidaksesuaian dengan syariat, dia berhak untuk menyampaikan. Hal ini dapat berwujud dalam tiga bentuk, yaitu memberikan bantahan terhadap orang-orang yang menyimpang, melakukan pemboikotan terhadap tokoh-tokoh bid’ah (bukan orang bodoh atau jahil), serta memberikan teguran kepada murid yang melampaui batas, bahkan mungkin mengeluarkannya dari kelas dan tidak menjawab pertanyaan mereka kecuali yang bermanfaat.
Selama masa belajar, sebaiknya kita hanya berteman dengan orang-orang yang baik. Orang-orang yang menyimpang dari ajaran yang benar sebaiknya dijauhi, dan lebih baik tidak terlalu dekat dengan mereka.
18. Berhati-hati dalam bertanya kepada ulama
Jika ada pertanyaan yang cenderung memicu kerusuhan, kekacauan, atau penyebaran keburukan, maka jika para ulama merasakan adanya tanda-tanda seperti itu dari seseorang, maka kemungkinan akan menerima perlakuan yang tidak menyenangkan dari mereka.
Ada empat hal yang perlu diperhatikan ketika bertanya kepada ulama:
- Pertimbangkan alasan di balik pertanyaan tersebut.
- Tanyakan hal yang bermanfaat, relevan secara publik, dan memiliki kemungkinan untuk terjadi.
- Perhatikan kondisi ulama yang ditanya, apakah dia siap untuk menjawab atau tidak.
- Bertanya dengan adab, mulailah dengan mendoakan guru dulu, dan sampaikan pertanyaan dengan kalimat yang menghormati (ingat bahwa guru berada di atas kita).
19. Mencintai Ilmu Sepenuh Hati
Belajar tidak hanya sekadar aktifitas intelektual, tetapi juga bisa menjadi sumber kebahagiaan dengan merangsang hormon endorfin. Hal ini mengisyaratkan bahwa dalam proses belajar, kita mencari kenikmatan dan kebahagiaan. Ibn Al-Qayyim menyebutkan tiga hal yang dapat menciptakan kenikmatan dalam pembelajaran:
- Mengarahkan seluruh upaya dan tenaga
- Serius dalam pembelajaran
- Memiliki niat yang tulus dan ikhlas.
Abu Ja’far al Manshur pernah bertanya, “Masih adakah kenikmatan dunia yang belum kamu rasakan?” Dalam jawabannya, ia menyatakan bahwa satu-satunya keinginan yang tersisa adalah ketika ia duduk di antara para penuntut ilmu, kemudian dikatakan padaku, “Semoga Allah merahnatimu. Ini menunjukkan bahwa kebahagiaan sejati dalam dunia ini dapat ditemukan ketika kita berada dalam lingkungan pembelajaran yang penuh dengan keikhlasan dan doa yang tulus.
20. Menghargai Waktu Demi Ilmu
Dalam kitabnya “Shaid al-Khatir”, Ibn al-Jauziy berkata: Seorang insan harus menyadari betapa berharganya waktu dan umurnya. Oleh karena itu, ia tidak boleh menggunakannya untuk selain ketaatan kepada Allah, bahkan hanya untuk sesaat. Sebaliknya, ia harus berusaha untuk menghasilkan ucapan dan amalan yang terbaik.
Muhammad bin Abdul Baqiy Al-Bazzaz berkata, “Saya tidak pernah menyia-nyiakan sesaatpun dari umur saya untuk aktivitas yang tidak bermanfaat atau sekadar bermain-main.”
Demikian juga, Abu al-Wafa’ ibn Aqil menulis kitab Al-Funun sebanyak delapan ratus jilid, sambil mengungkapkan, “Tidak halal bagiku untuk menyia-nyiakan umurku walau sekejab.” Mereka begitu menghargai waktu hingga bahkan saat makan pun, ada yang membacakan kitab untuk mereka, dan bahkan saat di kamar mandi pun, mereka tetap mendengarkan bacaan dari luar.
Mereka memahami betapa pentingnya memanfaatkan waktu dengan baik, bahkan setiap pelajaran yang mereka terima, mereka hafalkan. Waktu adalah aset yang paling berharga yang harus dijaga, namun seringkali juga merupakan yang paling mudah untuk disia-siakan.
Waktu adalah sesuatu yg paling berharga untuk dijaga. namun ia sesuatu yang paling mudah di sia-siakan.
Ketika seseorang melakukan sesuatu, baik itu karena terpaksa, kewajiban, kebutuhan, atau cinta, dan kita harus selalu berusaha untuk menjadikannya sampai level kecintaan yang membuat segala kebaikan itu dilakukan dengan sepenuh hati.
Catatan yang membahas adab dan akhlak dalam pekan keempat bersama Ustadz Ratno Abu Muhammad Lc, M.Ag dengan merujuk pada dua kitab, yaitu “Khulasah Ta’dzimul Ilmi” dan “Al-Adabul Asyarah” oleh Syaikh Shalih bin Hamd Al-‘Ushaimi. Semoga Allah merahmati keduanya, aamiin.
Semoga ilmunya dapat bermanfaat bagi kita semua dan Allah memudahkan kita untuk mengamalkannya, aamiin.