Fiqh, dalam bahasa adalah Al Fahmu atau pemahaman yang benar terhadap apa yang dimaksudkan. Dalam syariat, fiqh adalah ilmu tentang permasalahan agama. Secara istilah, fiqh adalah ilmu tentang hukum syariat yang bersifat amaliyah (tindakan) dan didasari oleh dalil-dalil spesifik (ushul fiqh).
Ilmu fiqh terbagi menjadi empat bagian besar, membahas aspek-aspek kunci dalam kehidupan sehari-hari:
- Ibadah: Bagian pertama, sering dipelajari dari thaharah (bersuci), membahas praktik ibadah seperti shalat, puasa, zakat, dan haji.
- Muamalah Maaliyyah (Harta): Bagian ini menangani hukum-hukum terkait harta, termasuk jual beli dan hubungan dengan orang lain yang berkaitan dengan harta.
- Munakahah (Pernikahan): Bagian ini membahas aspek-aspek pernikahan, termasuk hukum pernikahan, perceraian, dan hal-hal terkait lainnya dalam konteks hukum fiqh pernikahan.
- Jinayah (Pidana), hukuman dan persengketaan: Bagian ini membahas hukuman dan penyelesaian persengketaan, menggambarkan keterkaitan antara kepuasan fisik (perut kenyang, syahwat terpenuhi) dan munculnya konflik. Dalam situasi perselisihan suami istri atau konflik lainnya, fiqh jinayah terlibat untuk menentukan hukuman dan penyelesaian.
Islam menunjukkan kesempurnaan dalam menjaga hubungan antara manusia dan Allah serta antara sesama manusia. Keberadaan aturan-aturan agama membimbing kita agar tidak tersesat. Pentingnya belajar ilmu fiqh karena ilmu ini berkaitan erat dengan perbuatan-perbuatan sehari-hari yang dilakukan oleh hamba.
SUMBER HUKUM FIQH
1. AL QUR’AN
Sumber hukum utama dalam Fiqh adalah Al-Qur’an, yang merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Rasulullah. Setiap membaca satu huruf Al-Qur’an bernilai pahala.
Al-Qur’an landasan asli hukum dalam kehidupan dan agama kita. Terdapat empat aspek hukum Islam yang ditemukan dalam Al-Qur’an:
Mempermudah dan Tidak Mempersulit
Allah, dengan kebaikan-Nya, memberikan kemudahan kepada kita. Allah tidak membebani manusia melebihi kesanggupannya. Contohnya dalam masalah puasa, dimana orang yang sakit atau dalam perjalanan diizinkan untuk tidak berpuasa, dan menyarankan untuk bertakwa sesuai dengan kesanggupan.
Allah tidak membebani seseorang, kecuali menurut kesanggupannya. (QS. Al-Baqarah: 286)
Bertakwalah kamu kepada Allah sekuat kemampuanmu! Dengarkanlah, taatlah, dan infakkanlah harta yang baik untuk dirimu! Siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. At Tagabun: 16)
Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil). Oleh karena itu, siapa di antara kamu hadir (di tempat tinggalnya atau bukan musafir) pada bulan itu, berpuasalah. Siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya) sebanyak hari (yang ditinggalkannya) pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu agar kamu bersyukur. (QS. Al Baqarah: 185)
Banyak Pembolehan, Sedikit Pengharaman
Allah menciptakan segala sesuatu pasti ada manfaatnya. Banyak hal diperbolehkan, seperti makanan halal. Pengharaman hanya sebagian kecil, dan itu juga karena memang membahayakan kita. Contohnya, RIBA (riba) diharamkan, sementara jual beli yang halal diizinkan. Penekanan pada halal dijelaskan dengan mencantumkan hal-hal yang haram, tetapi halal jauh lebih melimpah.
Memperhatikan Kesejahteraan Manusia
Pengharaman Khamr (minuman keras) dan judi bertujuan untuk menghindari gharar (ketidakpastian) dan melindungi kesejahteraan manusia. Allah memberikan aturan ini untuk menyelamatkan manusia dari bahaya alkohol dan ketidakpastian yang terkait dengan judi.
Mewujudkan Keadilan
Firman Allah menekankan pentingnya keadilan dalam bersikap terhadap sesama manusia dan menegaskan bahwa kebencian kita terhadap seseorang tidak boleh menyebabkan kita berlaku tidak adil terhadapnya. Hal ini lebih dekat dengan Taqwa, ketakwaan kepada Allah.
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak (kebenaran) karena Allah (dan) saksi-saksi (yang bertindak) dengan adil. Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlakulah adil karena (adil) itu lebih dekat pada takwa. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan. (QS. Al Maidah: 8)
2. Assunnah / Hadits
Sunnah, segala hal yang disandarkan kepada Nabi, mencakup berbagai aspek seperti perkataan, perbuatan, dan ketetapan (taqrir). Metode pelaksanaan shalat, sebagai contoh, lebih banyak diambil dari ajaran sunnah. Allah menurunkan ayat-ayat Al-Qur’an kepada Rasulullah untuk menjelaskan kepada manusia.
Macam-macam sunnah:
- Qouliyyah (Perkataan): Sunnah ini melibatkan kata-kata yang diucapkan oleh Nabi, termasuk ajaran-ajaran dan nasihat-nasihat yang diberikannya.
- Fi’liyyah (Perbuatan): Sunnah ini mencakup perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh Nabi, memberikan contoh konkret untuk diikuti oleh umatnya.
- Taqririyah (Persetujuan): Sunnah ini melibatkan persetujuan atau ketetapan yang dinyatakan oleh Nabi terhadap suatu perbuatan atau ucapan, Ini berarti Nabi secara tidak langsung menyetujui atau menegaskan keberlanjutan suatu tindakan atau perkataan melalui perilaku seseorang jika ada suatu kejadian.
- Khuluqiyyah (Akhlaq): Sunnah ini mencakup ajaran dan contoh yang diberikan oleh Nabi terkait akhlaq, memberikan pedoman bagi umatnya untuk menjalani kehidupan.
- Khalaqiyyah (Sifat Fisik): Sunnah ini melibatkan contoh-contoh terkait sifat fisik Nabi, termasuk cara berpakaian, berpenampilan, dan aspek-aspek fisik lainnya yang dapat dijadikan tauladan.
3. Ijma’
Merupakan kesepakatan ulama’ mujtahid yang memiliki kapabilitas dan diakui. Ijma’ terjadi pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah terkait sebuah perkara dalam agama. Ijma’ tidak mungkin menyelisihi Alquran maupun Assunnah. Umat Islam tidak akan pernah bersepakat dalam kesesatan.
Ijma’ dibagi menjadi dua:
- Ijma’ Shorih (Jelas): Terjadi ketika ulama mujtahid pada masa tersebut menyatakan pendapat yang sama. Sebagai contoh, pada masa sahabat, ulama A, B, C, D, dan lainnya sepakat pada suatu pandangan.
- Ijma’ Sukuti (Diam): Seorang ulama berpendapat, dan pendapatnya tersebut menjadi masyhur, namun tidak ada yang menyelisihinya. Misalnya, jika ulama A mengemukakan suatu pendapat, dan ulama B, C, dan D mendengarnya tanpa menyatakan keberatan, maka hal tersebut dianggap sebagai persetujuan diam (sukuti).
Penting dicatat bahwa fenomena Ijma’ pada zaman sekarang jarang terjadi.
4. Qiyas
Qiyas yang disebut juga analogi, menyamakan hukum yang telah memiliki nash (ashlu) dengan situasi yang belum disebutkan hukumnya (far’u), dilakukan karena terdapat kesamaan dalam penyebab hukum (‘illah).
Rukun Qiyas:
- Hukum Utama (Maqiss ‘alaihi / ashl): Telah ada dalilnya.
- ‘Illah (alasan / sebab hukum pada masalah utama).
- Masalah cabang (fara’) yang belum memiliki dalil.
- Hukum masalah cabang (hasil akhir dari praktik qiyas).
Syarat Qiyas:
- Hukum ashl ditetapkan berdasarkan dalil dari Al-Quran, Assunnah, atau Ijma’ ulama.
- Illah diketahui.
- Illah pada fara’ yang akan diqiyaskan.
- Proses qiyas akan menghasilkan hukum yang sama.
- Illah dijadikan penyatu adalah suatu hal yang benar-benar dipertimbangkan dalam syariat dan memiliki pengaruh pada penetapan hukum.
- Hanya berlaku pada hukum-hukum praktis (amaliyan / praktek).
Penting dicatat bahwa dalam sejarah, praktik pengqiyasan tidak pernah terjadi karena sejarah itu sendiri bersifat deskriptif.
Dengan membuka pengantar ini, Ustadz Muhammad Ihsan menggali esensi Fiqh, menuntun kita ke dalam pemahaman tentang prinsip-prinsip agama. Di sini, kitab penting seperti “Sejarah dan Evolusi Fiqh” karya Dr. Bilal Philips dan “Al Madkhal ila ‘Ilmil Fiqhi – Fuqaha littadrib wal Isstisyarat” menjadi referensi.
Semoga setiap langkah pembelajaran ini membawa manfaat yang luas bagi kita semua. Aamiin.
Barakallahu fiikum.